Mungkin terlambat beberapa hari untuk membahas ini. Karena 2014 sudah berjalan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?
Bagi yang masih berstatus pegawai, tingkat kerumitan “evaluasi tahunan” tergantung pada tingkatan kepegawaiannya. Saya mengecek, sebagian besar pegawai yang masih belum memiliki bawahan cuma mendapatkan evaluasi kinerja pribadi saja. Banyak dari mereka yang tidak tahu pencapaian tahunan perusahaan. Tentu, perusahaan publik dan swasta besar adalah pengecualian. Apalagi yang diaudit terbuka oleh KAP, pasti neracanya diumumkan. Walau pengumumannya ada yang tahun takwim, tapi ada yang tahun buku. Tahun buku pun berbeda, ada yang mengikuti pelaporan pajak tiap 31 Maret atau tanggal berdirinya perusahaan.
Namun, annual review mustinya tidak sekedar memuat indikator keuangan belaka. Target versus pencapaian. Tapi seharusnya juga memuat laporan proses. Roma tidak dibangun dalam semalam, seharusnya selalu ingat adagium itu. Adakalanya ketidakberhasilan bukan karena kurangnya kinerja internal, tapi bisa disebabkan variabel eksternal. Penjualan menurun bisa disebabkan berkurangnya daya beli masyarakat dikarenakan naiknya harga-harga. Walau tentu harus ada buktinya agar tidak jadi dalih semata.
Annual review yang baik seharusnya memuat juga progress report. Jadi, bukan sekedar skala biner 0 dan 1, gagal atau berhasil. Jelaskan saja proses yang sudah dilakukan dan sejauh mana perkembangannya. Direksi yang baik, kompeten dan berpengetahuan luas tentu akan tahu hal ini. Mereka tidak sekedar asal menuntut hasil tanpa mau tahu apa-bagaimananya proses di lapangan.
Saya sendiri saat berposisi sebagai pimpinan, sangat memaklumi kekhasan ‘orang kita’. Dan saya berusaha mencari solusi untuk menutup kelemahan itu. Sayangnya, tak banyak orang kita yang ‘menyadari’ bahwa hasil kerja final bukanlah “karena hebatku” -mengutip syair lagu “Semua Karena Cinta”-, tapi karena kerja tim. Banyak saya dapati ‘orang kita’ gemar mengambil kredit atas kinerja orang lain. Bisa jadi, saat sekolah ia gemar mencontek bahkan mungkin skripsi/tugas akhirnya pun plagiat. Sementara saat menjadi bawahan, saya berupaya memberikan kontribusi terbaik agar tidak terlalu ‘merepotkan’ atasan. Namun, kerapkali saya kecewa karena kurang tercapainya target seolah hanya salah bawahan semata, tanpa ada upaya atasan memberikan penilaian yang adil.
Untuk itulah di perusahaan besar dibuat parameter penilaian 360 derajat. Banyak metodenya. Sayangnya cukup mahal. Karena itu, hanya perusahaan berkocek tebal yang mampu membuat penilaian semacam ini. Dalam konteks annual review pun, biasanya dibuat untuk skala korporasi. UMK jarang yang mampu membuatnya secara benar. Padahal, ini penting agar perusahaan mampu mengevaluasi diri sekaligus mempersiapkan strategi untuk tahun berikutnya.