Saat ini, di RCTI sedang berlangsung ajang pencarian bakat menyanyi “Indonesian Idol”. Karena ini franchise dari Amerika Serikat, maka tentu ada standar khusus yang diterapkan. Menyaksikan tayangan televisi terkait audisi, saya yang awam terkadang bingung kenapa ada penyanyi yang suaranya cukup bagus tapi ditolak. Kalau yang karena gayanya yang norak sih wajar. Tapi hari Minggu (5/1) ini saya melihat ada setidaknya 3 peserta yang mustinya bisa diloloskan. Tapi entah mengapa, para juri seperti “tidak selera”. Kalau cuma masalah selera sih tidak apa, karena ini sulit diperdebatkan. Tak ada penilaian obyektif yang bisa menjustifikasi mana yang lebih enak, masakan Padang atau Jawa. Demikian pula dengan audisi semacam ini. Buktinya, pemenang “like” terbanyak di YouTube serta pemenang “silver ticket” tak ada yang mampu memenuhi “selera” juri utama. Memang, pada akhirnya keputusan siapa yang diloloskan dan tidak adalah “hak prerogatif” para juri utama.
Apa yang menjadi perhatian saya justru reaksi para peserta setelah penjurian, terutama bagi yang gagal. Ada yang biasa saja, ada yang menangis, tapi ada yang marah. Di sini, emotional quotient berperan sangat besar. Kedewasaan peserta sangat dituntut di sini.
Kalau kita renungkan, di dunia ini mana yang lebih banyak, kegagalan atau keberhasilan? Mudah menjawabnya: kegagalan. Dalam ajang Indonesian Idol saja, jumlah peserta yang ditolak ribuan. Sementara yang mendapatkan “golden ticket” hanya beberapa puluh. Itu pun kemudian disaring lagi untuk menjadi belasan finalis. Dan, setelah kompetisi, hanya ada 1 orang juara. Demikian pula di alam. Petani dan peternak sangat tahu hal ini. Dari sekian banyak bibit yang ditebar, berapa yang bertahan sampai panen? Paling hanya 30 %-nya. Kita sendiri sebagai manusia juga contoh nyata, bahwa kegagalan jumlahnya lebih banyak. Saat ayah membuahi ibu, jumlah spermatozoa yang gagal jumlahnya ribuan, dan yang mencapai sel telur hanya 1. Kalau ada lebih dari 1 spermatozoa yang melebur dengan sel telur, tentu hasilnya akan abnormal.
Karena itu, bila dalam suatu proses peningkatan kualitas diri kemudian terjadi hambatan apalagi kegagalan, santai saja. Kita harus menyikapinya secara wajar. Kalau bukan proses alamiah seperti pembuahan tadi, masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Seperti kata bijak orang tua dahulu: “kegagalan bukanlah akhir segalanya”.