Pasca reformasi, terjadi keriuhan di ruang publik. Banyak orang yang merasa dikekang serta-merta memanfaatkan euforia kebebasan berekspresi. Di media massa, begitu banyak informasi tersaji dari berbagai penjuru. Apalagi di social media, semua orang bebas berkomentar.
Itu memang hak tiap orang. Tapi bukankah di situ ada hak orang lain juga yang tidak ingin membaca komentar tak bermutu? Ini sama dengan merokok. Seseorang berhak untuk merokok, sepanjang dia sendirian di satu ruangan. Karena begitu berada di ruang publik, haknya ini terbatasi oleh hak orang lain yang tidak ingin menghirup asap rokok sebagai perokok pasif. Kalau analogi ini terlalu sulit dimengerti, karena perokok biasanya egois, saya ambil analogi lain.
Telanjang. Ya, telanjang. Anda berhak sekali untuk telanjang, karena itu tubuh Anda. Namun, itu selama Anda berada di kamar mandi atau di suatu ruang tertutup sendirian. Kalau Anda berada di ruang publik atau bahkan di ruang privat tapi ada orang lain, maukah Anda telanjang? Kalau ternyata Anda menjawab “ya” karena memang dasarnya berkarakter cuek dan nekat, tanyakan kepada orang lain, maukah dia melihat tubuh Anda? Kalau tubuh Anda bak artis yang seksi (bagi perempuan) atau atletis (bagi lelaki) sih OK-OK saja. Tapi faktanya, sebagian besar manusia justru berpostur tidak ideal bukan? Badan gembrot, perut buncit, pantat tepos, panuan, kurapan, dakian, hidddihhh… siapa juga yang mau melihat? Makanya, bersyukurlah kalau Anda punya pasangan. Dia masih mau legowo disuguhi ‘pemandangan’ seperti itu setiap hari. Hahahaha…. ๐
Apalagi kalau tindakan atau ucapan atau tulisan itu terkait dengan suatu keahlian tertentu, maka sebaiknya yang berkomentar adalah yang memang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Anehnya, hal ini seperti tidak disadari oleh banyak orang di Indonesia. Tampaknya, iklim ‘pengekangan berpendapat’ bukan hanya dilakukan oleh rezim penguasa, tapi juga oleh keluarga. Tak heran, pengguna FaceBook dan Twitter Indonesia termasuk yang terbanyak di dunia. Sementara negara-negara maju, warga negaranya jarang menggunakannya kecuali untuk sesuatu yang mereka anggap layak. Itu karena sehari-hari mereka sudah “eksis” di lebenswelt-nya. Jadi, tak perlu lagi menunjukkan eksistensi terutama di social media.
Jujur, saya sebenarnya tidak merasa eksis di lebenswelt saya. Karena satu dan lain hal, achievement, pengabdian, dan pengorbanan saya seringkali diabaikan justru oleh orang terdekat yang saya harapkan pengakuannya. Namun, sejak beberapa waktu lalu, saya berupaya memasrahkan kembali semuanya kepada ALLAH SWT. Saya tidak mengharapkan lagi pengakuan dan pujian dari manusia, tapi hanya dari ALLAH SWT semata. Sulit. Ini tidak semudah menuliskan atau mengucapkannya. Apalagi saya ini orang yang sombong. Duh!
Maka, daripada mencari eksistensi semu, saya mengambil tindakan sebaliknya. Ini penerapan dari reverse pscyhology. Di tengah-tengah ramai orang berpendapat dan berkomentar, saya memilih mundur. Diam. Ini terutama karena mengingat sabda kekasih yang paling saya cintai: Rasulullah Muhammad SAW yang mulia:
ุ ุนููู ุฃูุจูู ููุฑูููุฑูุฉู ุฑูุถููู ุงูููู ุนููููู ุฃูููู ุฑูุณููููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ููุงูู : ู ููู ููุงูู ููุคูู ููู ุจูุงูููู ููุงููููููู ู ุงูุขุฎูุฑู ูููููููููู ุฎูููุฑุงู ุฃููู ููููุตูู ูุชู
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam,….”
(hadits shahih, dimuat dalam kitab hadits shahih riwayat Bukhari no. 6.475 & Muslim no. 74)
Ilustrasi: blogs.navpress.com