Karena saya mengikuti cukup banyak komunitas, maka saya bisa membandingkan karakter yang berbeda dari banyak orang. Ini berguna bagi pengembangan pribadi saya sendiri, terutama terkait soft skill seperti character mapping dan negotiation. Selain mengenali aneka pribadi manusia yang unik, saya juga belajar mengenai karakter dan budaya organisasi. Tidak hanya perusahaan berorientasi profit yang memilikinya, tapi juga organisasi non-profit. Karena saya adalah entitas terkecil di setiap organisasi, maka sayalah yang harus menyesuaikan diri dan beradaptasi.
Maka dari itu, apabila Anda mengenal saya langsung di berbagai organisasi berbeda, niscaya akan melihat ‘permainan peran’ yang juga berbeda. Di satu tempat saya bisa tampil powerful, sementara di tempat lain malah “cupu abis”. Terkadang hal ini membuat orang heran, karena banyak orang tampil sama di mana-mana, sementara saya tidak. Sebagai contoh, di satu komunitas saya bisa tampil kalem sehingga sering disangka pendiam. Sementara di tempat lain saya malah tampil ‘beringas’ sehingga orang-orang sering ‘takut’ kepada cara saya yang bak ‘banteng ketaton’.
Terkadang saya mundur sejenak ke belakang bila ada yang begitu ingin tampil ke depan, biasanya yang berkepribadian sanguin, atau sekedar ‘haus perhatian’ saja. Apalagi kalau saya bukan ketua atau pimpinan organisasi. Saya tahu diri. Tak boleh ada “matahari kembar” di “bumi”. Tak mau saya seolah ‘menantang’ seseorang. Namun, terkadang ada saja yang perlu ‘dikerasi’, apalagi yang tak tahu diri. Percuma dipendam, cuma bikin ‘makan ati’. Seringkali saya terpaksa “memutus silaturahmi” dengan pribadi yang membuat ‘sakit hati’ seperti ini. Hal ini terutama bila yang bersangkutan tak tahu cara ‘memposisikan diri’. Sebutlah ia berposisi sebagai supplier atau vendor atau pekerja, tapi belagak seolah dialah satu-satunya orang yang mampu mengerjakan hal itu di dunia. Merasa diri sudah hebat, padahal kalau mau saya ‘hina’, dia itu ‘nggak ada tai-tainya’ dibandingkan saya. Di sini, saya memilih menarik “rekening bank emosi” saya, meminjam istilah Stephen Covey.
Tapi, daripada membuat musuh baru, saya memilih mencari ‘jalan baru’ saja. Seperti pernah saya bilang, kalau kita menghadapi sebuah tembok, cuma ada 3 alternatif. Pertama, tetap berusaha melewati tembok itu dengan segala cara. Mungkin bisa dengan tangga atau dibantu teman. Kedua, tabrak dan berusaha menghancurkan tembok itu, mungkin dengan buldozer. Ketiga, abaikan tembok itu. Hal ini bisa berarti berjalan memutar mengitari tembok itu atau mencari ‘jalan baru’ yang tak ada temboknya.
“Gitu aja kok repot”, kata Gus Dur. Tahun baru gitu lhoh. Masa’ masih pakai cara lama?
Keterangan :
– cupu : culun punya, bahasa gaul 2000-an
Ilustrasi: lukisan berjudul “A New Way of Thinking” karya J Slattum, diunduh dari launchpadgallery.org