Saya melihat, di internet banyak sekali orang mudah mengeluarkan pendapat dalam hal agama. Kemarin misalnya, debat kusir terjadi soal halal-haramnya mengucapkan Natal. Alasan yang dikemukakan adalah fatwa MUI tahun 1981 (lengkapnya baca di tautan ini). Padahal, kalau Anda baca, jelas terlihat bahwa tidak ada larangan memberikan ucapan selamat Natal. Larangan MUI itu adalah larangan Muslim untuk terlibat dalam perayaan Natal.
Fatwa tersebut muncul sebagai tanggapan karena di masa itu instansi pemerintah seringkali mengadakan “Perayaan Natal Bersama” yang kepanitiaannya juga diisi oleh PNS yang beragama Islam. Presiden Soeharto sendiri beserta para Menteri selalu menghadiri acara semacam ini yang dulu biasanya diadakan di Balai Sidang Senayan. Demi menghormati umat Islam, Pak Harto lantas memberikan arahan agar perayaan Natal diadakan dalam dua sesi. Sesi pertama untuk umum, dan sesi kedua untuk umat Kristiani. Sejak itu, saya ingat melihat dalam siaran langsung TVRI (kalau tidak percaya silahkan minta sendiri rekaman videonya) Presiden Soeharto yang selalu mengenakan peci -tanda beliau Muslim- saat Perayaan Natal Bersama akan meninggalkan lokasi acara usai memberikan sambutan. Wakil presiden dan para menteri yang beragama non-Kristiani pun mengikutinya. Barulah kemudian umat Kristiani melanjutkan dengan ibadah malam Natal berupa misa perjamuan kudus.
Tapi kini, dengan jarak yang cukup jauh dari peristiwa itu, kemudian terjadi penafsiran berbeda atas fatwa MUI tersebut. Banyak yang merasa haram mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Berbagai dalil dibawa, mengutip sejumlah ulama. Kalau masih merujuk pendapat ulama sih mending, malah ada yang berani mengutip ayat suci Al-Qur’an dan hadits Nabi. Padahal, penggunaannya tidak bisa sembarangan.
Sama saja dengan pendapat di dunia non-agamis, kita harus kompeten di sana. Coba saja lakukan hal ini, Anda datang ke rumah sakit dan nyelonong masuk kamar bedah saat istri/suami, keluarga atau kerabat Anda akan dioperasi. Dengan santai Anda memberikan ‘pendapat medis’ kepada para dokter. Anda bilang semestinya pasien tidak usah diberi tranfusi darah, tapi cukup diberi infus. Lalu membedahnya jangan pakai scalpel, tapi cukup pakai cutter saja. Apa yang terjadi?
Kalau orang-orang semacam ini dibiarkan, tentu akan merusak. Sama saja dengan agama. Itu ada ilmunya. Untuk memberikan pendapat terkait penafsiran ayat Al-Qur’an, seseorang tidak cukup hanya bergelar kyai atau habib -yang bisa didapat dari keturunan- saja. Tapi juga harus paham bahasa Arab di tingkat mahir, luas pengetahuan agamanya termasuk mencakup asbabun nuzul dan mengerti pendapat para mufassir terdahulu. Namun yang terpenting, justru yang bersangkutan harus sudah menuliskan karya kitab tafsirnya sendiri. Di Indonesia, ada Prof. Dr. K.H. Quraish Shihab sebagai contoh. Nah, kalau asal kiai tapi tidak memenuhi kriteria itu, pendapat agamanya harus dicocokkan dengan kitab dari para imam lebih dulu. Demikian pula saat mengutip hadits, kita harus mengerti ilmu musthalahul hadits termasuk memahami asbabul wurud-nya. Tidak mudah. Intinya, kita perlu kompetensi dalam memberikan suatu pendapat ilmiah. Dan agama itu ada ilmunya, tidak sembarangan asal mbacot.
Dan asal tahu saja, para Imam Besar justru amat sangat berhati-hati dalam memberikan pendapat agama. Mereka tidak ragu mengatakan “tidak tahu” (dalam bahasa Arab dilafalkan la adri) bila ditanya suatu masalah, terutama soal halal-haram. Sebagai contoh, Imam Abu Hanifah -sebagai Imam paling tua dari empat mazhab utama dalam Islam- pernah ditanya 9 masalah dan semuanya dijawab dengan la adri. Demikian pula Imam Malik -menurut Al Khatib Al Baghdadi- pernah ditanya 48 masalah, namun hanya 2 yang dijawab jelas,16 dijawab tersamar, dan 30 lainnya dijawab dengan la adri. (lihat Al Faqih wa Al Mutafaqqih, 2/170-171). Itu menunjukkan sikap hati-hati dan tidak sok tahu dari kedua Imam tersebut.
Dan haruslah dipahami, bahwa sebuah pendapat agama atau fatwa dari seorang ulama atau organisasi keagamaan, tidak berlaku bagi yang bukan jama’ahnya. Dan seringkali, muncul pendapat agama atau fatwa dari ulama atau organisasi keagamaan lain yang sama sekali berbeda atau bertentangan. Untuk itulah, sebagai umat, saat kita mengikutinya pun, kita harus benar-benar tahu apa dalil awal yang menjadi rujukan ulama itu memberikan pendapat. Jangan asal mengikuti secara fanatik atau taklid buta.
Karena itulah, kalau saya terlibat adu pendapat langsung di suatu forum dengan orang-orang yang rumongso bener dewe ini (baca kembali tulisan saya berjudul “Selalu Merasa Benar” beberapa waktu lalu), dengan santai saya akan bertanya, “Man anta? Ma huwa ta’lim akhosh? Hal yumkin an tatakalama al Arabiyyah?” Tidak tahu artinya? Kalau Anda tidak mengerti, jangan sok tahu asal berpendapat soal agama makanya…
Foto: www.mpac.org