Di perusahaan besar yang memiliki standar mutu dan penilaian kinerja jelas, hal ini dihargai tinggi. Bahkan, ada point khusus bagi yang mampu melaksanakannya. Bukan sekedar “omdo” alias “omong doang”, tapi mampu mengimplementasikannya.
Karena pasca reformasi, saya mengamati banyak orang yang cuma bisa melontarkan usulan, tapi tak tahu bagaimana melaksanakannya. Ini karena adanya euforia iklim kebebasan berpendapat. Bahkan, berani mengusulkan sesuatu yang di luar jangkauan wewenang dan kompetensinya. Misalnya saja ‘ngebacot’ soal penanganan kemiskinan oleh pemerintah. Padahal, yang bersangkutan sendiri tidak berbuat apa-apa.
Inisiatif tidak berhenti pada tataran ide yang konseptual. Tapi pada pelaksanaan yang teknis bahkan operasional. Pihak yang mengajukan inisiatif harus mampu menjabarkan dan melaksanakan semua ini. Minimal, ia mampu membuat orang lain paham bagaimana itu dijalankan. Tentu dalam tataran operasional, tidak hanya si pemilik inisiatif yang harus melaksanakan, ia dibantu seluruh jajaran apabila hal itu sudah jadi kebijakan pimpinan.
Di sini, diperlukan kearifan dan kebijakan untuk memahami bahwa semua inisiatif ditujukan untuk perbaikan dan kemajuan. Biasanya, akan ada resistensi dari mereka yang “pro status-quo”. Pihak-pihak yang sudah terlena pada kenyamanan dan kebiasaan.
Karena setiap inisiatif pasti membutuhkan perubahan. Dan itu seringkali merepotkan plus menyulitkan. Walau begitu, harus kembali lagi pada tujuan akhirnya yaitu keadaan yang lebih baik. Dengan begitu, ia akan dimaknai secara sangat positif, hanya oleh mereka yang terbuka pikirannya.
Ilustrasi: coachdawnwrites.com