Hari ini, saya menghadiri undangan komunitas Tangan Di Atas (TDA) wilayah Jakarta Barat sebagai tamu mewakili Ketua yang berhalangan hadir. Acaranya diadakan di sebuah convention center di wilayah Tangerang Selatan. Bukan acaranya yang hendak saya bahas mendetail, melainkan temanya. Acara itu mengusung tema “womenpreneur”.
Kita semua tahu, itu gabungan dua kata: “women” dan “entrepreneur”. Artinya tentu “wanita pengusaha”.
Sebenarnya, semua pengusaha baik wanita maupun pria sama saja. Tapi, memang ada tantangan tersendiri bagi wanita. Ini karena efek kodratinya. Wanita apalagi yang sudah menikah dan punya anak harus membagi waktu antara dirinya dan keluarga. Kalau ia punya karir atau bisnis, itu tidak boleh sampai mengabaikan tugas-tugas kodratinya. Ini tentu dengan asumsi ia wanita bertanggung-jawab dan tidak asal menyerahkan segala sesuatu pada asisten.
Di dunia patrilineal, wanita juga biasanya bukanlah pencari nafkah utama. Tapi tak jarang, ia justru menjadi “bread-winner” yang mendapatkan penghasilan utama melebihi suaminya. Maka, bisnis yang semula sampingan tak jarang berubah menjadi utama. Di saat inilah kemampuannya membagi waktu, perhatian bahkan dirinya sendiri menjadi amat penting.
Banyak teladan wanita pengusaha sukses. Namun, sama seperti teladan lain, kita harus mengukurnya dengan kapasitas kita sendiri. Jangan sampai kita jatuh sebelum sampai tujuan karena tak mampu mengambil langkah konkret sesuai kondisi kita. Bagi saya, seorang womenpreneur jauh lebih hebat daripada pengusaha pria. Itu tentu bila ia mampu menyeimbangkan kehidupannya, antara bisnis, karir, keluarga dan kehidupan pribadi termasuk agama.