Ada efek negatif dari maraknya buku-buku pengembangan diri dan larisnya motivator. Apa itu? Timbulnya rasa percaya diri berlebihan alias over pe-de. Pada taraf tertentu, ini bahkan bisa membawa kepada sifat ujub, riya’, dan sombong. Memang, masih ada orang-orang yang dalam beberapa tingkatan belum percaya diri. Tapi, rasanya kalau kelas menengah Jakarta sih pe-de-nya sudah cukup.
Selain menjadi “penyakit hati”, over pe-de juga bisa mengarah pada “menghalalkan segala cara” . Termasuk juga merasa diri “selalu benar”. Saya sangat mudah jatuh pada hal ini. Karena seringkali memang kadar “pe-de” saya lebih tinggi dari rata-rata orang lain. Dan ini berimbas pada cara mempertahankan suatu pendapat vis-a-vis pendapat orang lain.
Masalahnya adalah pada positioning dan mapping. Bila posisi kita lebih kompeten dalam suatu hal, misalnya karena pendidikan dan pengalaman kita, maka pendapat kita bisa jadi lebih layak dipertahankan. Demikian pula mengukur orang lain dengan memperhatikan hal serupa. Dalam konteks tertentu, yakin dan mempertahankan pendapat adalah harus. Namun, bila dalam diskusi kita mendapati argumen orang lain lebih baik, tentu kita harus menyadari hal itu. Mengakui pendapat orang lain lebih baik bukan berarti kita kalah seperti dalam perlombaan. Tapi justru kita bersama-sama mencari solusi terbaik atas suatu problema yang didiskusikan.
Sebagai gambaran dari “selalu merasa benar” adalah kartun yang saya gunakan sebagai ilustrasi. Kartun ini saya dapatkan dari FaceBook. Kartunisnya mencantumkan identitasnya di sana.
Apa yang saya pelajari dari situ adalah, saya sendiri seringkali ngotot untuk suatu hal. Masalahnya, kebenaran yang disampaikan dengan cara yang tidak baik pasti tidak akan diterima. Minimal, kalaupun kemudian ada pengakuan atas kebenaran itu, tidak dengan sepenuh hati.
Mantan pasangan saya misalnya, ia mengakui kebenaran Islam. Tapi, ia menolak masuk Islam. Sepertinya paradoks ya?
Tapi tidak. Saya sadar itu karena saya bersikap “selalu merasa benar” tadi. Secara psikologis, tak ada orang yang mau disalahkan. Dan merasa diri salah itu rasanya sangat tidak nyaman. Tapi tentu bagi yang bermoral dan kadar imannya memadai. Sementara bagi yang sebaliknya akan tetap merasa benar. Intinya, kebenaran haruslah disampaikan dengan cara yang baik.
Contoh lebih besar adalah para koruptor. Biarpun dari partai dakwah, bergelar keagamaan, berpendidikan tinggi, bahkan terlihat jelas mereka rajin ibadah, namun ternyata mereka tidak mau mengakui kesalahan. Padahal sudah jelas sekali dengan mata telanjang mereka mengambil yang bukan haknya. Demikian pula dengan sang penyair SS yang memperkosa seorang mahasiswi UI. Saya memantau linimasa Twitter tampaknya ia merasa itu hal yang ‘biasa saja’. Apa yang saya kecewakan, istrinya pun bertindak serupa. Dan ada beberapa tokoh kesenian yang malah membela si pemerkosa. Heran.
Sanggup mengakui kesalahan bukan hina, malah mulia. Di tradisi Katholik, ada pengakuan dosa atau indulgensi. Di sini, seorang umat akan mengakui dosanya di hadapan pastor dalam ruangan tertutup. Di agama lain sebenarnya juga ada, cuma caranya berbeda. Kalau di Islam tentu langsung kepada ALLAH SWT tanpa perantara. Nah, sayangnya, banyak di antara kita memilih menghindari dan menutupi kesalahan daripada mengakuinya. Padahal, itu cuma menunda hukuman. Malah, kalau tidak dihukum di dunia, akan dihukum di akherat yang kekal dan jauh lebih berat siksanya. Ngeri kan?
Ping-balik: Berpendapat dalam Agama | LifeSchool by Bhayu M.H.·