Dulu, saya mengira kalau orang tahu kapan hari-hari terakhirnya, mereka akan melakukan dua kutub berbeda: meningkatkan ibadah kepada Tuhan atau sebaliknya melakukan segala hal yang dilarang agama. Memaksimalkan tabungan akherat atau memuaskan keinginan duniawi. Film dan buku cerita soal kiamat banyak melukiskan hal itu. Terjadi kekacauan saat orang-orang tahu kapan akan terjadi kiamat.
Nah, bagaimana kalau orang tahu akan terjadi ‘kiamat kecil’, dan bukan ‘kiamat besar’ yang akhir dunia? Sebutlah seperti pasien kanker yang ‘divonis’ dokter umurnya tinggal sebentar lagi?
Bila kita seperti Randy Pausch, tentu akan membaktikan sisa hidup kita kepada kemanusiaan. Atau seperti Sadako Sasaki yang tidak berhenti berharap. Saat berusia dua tahun, ia terkena efek ledakan bom atom di Hiroshima hingga terlempar keluar jendela rumahnya. Sepuluh tahun kemudian, Sasaki didiagnosa menderita penyakit kanker leukimia dan dirawat di RS.
Dalam upaya menumbuhkan harapan hidupnya sendiri, ia membuat burung-burungan dari kertas dengan metode origami. Menurut kepercayaan tradisional Jepang yang dituturkan temannya Chizuko Hamamoto, bila berhasil membuat 1.000 burung seperti itu, permintaan apa saja akan dikabulkan Tuhan. Namun, baru berhasil membuat 644 buah, ia sudah meninggal. Temannya melengkapinya menjadi 1.000 dan menguburkan semuanya bersama Sasaki yang meninggal pada 25 Oktober 1955 di usia 12 tahun.
Kini, anak-anak di Jepang yang berkunjung ke Hiroshima Peace Memorial Museum selalu menambahkan burung origami itu. Selain untuk menghormati perjuangan Sadako Sasaki, juga sebagai bentuk penghargaan atas makna hidup dan mengenang peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
Hari ini, diperingati sebagai Hari AIDS sedunia. Banyak penderita AIDS atau yang sudah positif terkena virus HIV yang menyongsong kematian seperti Sasaki. Mereka terus menjalani hari demi hari seolah dentang kematian sudah akan merenggutnya. Dan kita seringkali tidak peduli pada penderitaan mereka yang ‘divonis mati sebelum mati’ itu.
Bagi saya sendiri, saat menghadapi sendiri, ternyata saya tidak bisa seperti Sasaki. Saya tidak memiliki semangat juang memadai. Hari-hari saya berjalan biasa saja. Ibadah malah tambah malas-malasan. Tidak ada milestone yang saya lakukan. Apalagi berupaya meninggalkan legacy seperti dilakukan orang-orang yang menjadi inspirasi tadi.
Ini mungkin karena lebenswelt saya begitu sempit kini. Ada akses yang tak lagi saya miliki. Ada kemampuan yang terbatas. Ada begitu banyak faktor yang membuat “sayap saya patah”, seperti dituliskan AMP dalam puisinya untuk saya.
Toh, saya berupaya tetap bersyukur atas hidup yang telah diberikan Tuhan bagi saya. Satu yang saya sesali, saya seringkali membuang begitu banyak kesempatan dan mengambil langkah salah. Bagaimanapun, ini hidup saya, tanggung-jawab saya. Harapan saya cuma satu, alih-alih mengharapkan diri saya dikenang seperti dulu, saya hanya berharap semoga Tuhan mengampuni saya.
Ilustrasi: Dreamstime, dipakai di http://www.livescience.com/28472-near-death-experiences-vivid.html
Menarik artikelnya pak bhayu.
Mencoba mencari makna hidup. Kesuksesan itu adalah proses, bukan tujuan.
Terima kasih Suhu sudah berkenan blogwalking ke lapak saya…