Kali ini saya ingin menanggapi berita aktual yang tengah terjadi di masyarakat kita. Satu yang paling menarik saya adalah aksi solidaritas dokter se-Indonesia kemarin atas kasus hukum yang menimpa koleganya. Namun, daripada saya masuk ke isi persoalan yang bisa dibaca di media massa lain, blog ini akan menyoroti dari sisi lain. Sisi yang lebih menarik perhatian saya pribadi.
Semenjak masa Yunani Kuno, dimana peradaban manusia mulai mencatat berbagai hal dalam literatur, profesi juru penyembuh sudah menempati status sosial yang tinggi. Bahkan di masyarakat pra-sejarah, dukun, shaman atau semacamnya selalu jadi orang nomor dua atau tiga dalam hierarkhi kepemimpinan suatu suku.
Hal ini karena juru penyembuh memiliki “kuasa atas hidup dan mati” seseorang. Tapi karena itu pula, nyawa sang juru penyembuh bisa jadi taruhannya. Apalagi saat harus menyembuhkan seorang raja/ratu atau keluarganya yang terkena penyakit ‘aneh’.
Sebenarnya, penyakit yang disebut ‘aneh’ hanya karena ia baru muncul atau baru terdeteksi dan belum ditemukan obatnya. Penyakit kusta atau lepra misalnya, di awal abad dua puluh sempat dianggap penyakit “kutukan Tuhan”. Di abad pertengahan bahkan penyakit pes atau disentri saja belum ada obatnya. Dan tahukah Anda, bahkan hingga kini obat penyakit influenza sama sekali belum ada?
Keterkaitan obat dan “tangan tuhan” seorang juru penyembuh ini menjadikannya seolah menjadi privilege darinya. Bila pedang dan tombak adalah senjata prajurit, obat adalah ‘senjata’ dari juru penyembuh.
Di zaman modern, keterkaitan ini lebih erat lagi, namun seringkali kontradiktif. Obat diproduksi massal oleh perusahaan farmasi yang berorientasi keuntungan, rumah sakit dikelola secara profesional yang juga mengedepankan sisi profit-oriented-nya, sementara dokter pun sebagai pribadi merasa harus mengembalikan ‘modal’ yang dipakainya selama kuliah. Padahal, ketiga pilar kesehatan itu diharapkan masih punya ‘rasa kemanusiaan’ dan tentunya ‘jiwa sosial’ terhadap tugasnya menjaga kesehatan masyarakat.
Dokter di masa kini lebih terlindungi lagi secara hukum sebenarnya, apalagi di Indonesia. Membaca rujukan, di negara maju dokter bisa dipidana atas kelalaiannya melakukan malpraktek. Demikian pula dengan rumah sakit apabila salah menangani pasien. Perusahaan farmasi juga bisa dituntut apabila obatnya ternyata menimbulkan kematian atau kecacatan. Namun, di Indonesia, kasus-kasus hukum yang melibatkan dokter yang dianggap malpraktek sangat langka. Dan lebih langka lagi yang dimenangkan oleh pihak penuntut, biasanya pasien atau keluarganya. Kebanyakan gugur karena dianggap kurang bukti, kurang saksi atau malah legal standing penuntut tak memadai.
Maka, saya pribadi berharap soal ini menjadi perhatian pemerintah. Justru bukan sekedar memperhatikan satu kasus saja, tapi merevisi peraturan terkait kedokteran dan kesehatan. Sehingga kasus dugaan malpraktek bisa ditangani secara adil. Bukan hanya untuk dokter atau pilar kesehatan saja, tapi justru terutama bagi pasien.
Foto: penaone.com