Dalam hidup, saya seringkali menemui orang-orang yang dengan mudahnya menebar omong kosong. Bahasa inggrisnya lebih kasar: “bullshit”, kalau diartikan secara harfiah jadinya “tai banteng”. Hehehe.
Sebenarnya, “omong kosong” sangat dekat dengan “bohong”. Barangkali kalau dikelompokkan, bapak-ibunya sama. Mereka saudara sekandung, adiknya adalah “janji palsu”. Bapaknya riya’, ibunya ujub. Kakak tertuanya adalah “sombong”.
Lho, kok bisa “bohong” dengan “sombong” saudara kandung? Karena kakek moyang mereka adalah “penyakit hati”. Orang sombong seringkali melebih-lebihkan apa yang disombongkannya, sehingga ia pun bisa dengan mudah berbohong. Misalnya mengakui sesuatu yang bukan miliknya, walau itu masih milik keluarga besarnya.
Bicara “omong-kosong” ini mudah sekali. Apalagi kini orang menyadari bahwa amat jarang sekali lawan bicara yang ditemui akan mau repot-repot mengecek omongan orang. Rata-rata kita bicara dan bertemu sekitar 10-15 orang per hari. Bisa orang yang sama, bisa orang yang berbeda. Siapa sih yang mau iseng mengecek omongan supir taksi atau penjual makanan?
Justru orang yang ‘tidak banyak bicara’ itu seringkali justru menghanyutkan. Mereka mengetahui kebenaran lebih dalam daripada yang sibuk bicara omong kosong.
Dalam sebuah diskusi apalagi yang sifatnya brainstorming, omong kosong juga seringkali muncul. Untuk itu, kita seharusnya fokus pada agenda pertemuan. Pendekatan Edward De Bono dalam bukunya Six Thinking Hats (1999) bisa dipakai dalam mengantisipasi hal ini. Alih-alih sibuk membicarakan argumen, fokus dari keenam warna topi akan membuat diskusi lebih terarah. Dengan demikian, omong kosong bisa ditekan.
Omong kosong sangat sulit untuk diwujudkan. Seringkali ia berupa ide yang terlalu kreatif, atau malah meliputi unsur-unsur yang tidak pasti. Misalnya sebuah perusahaan yang baru mulai sudah merisaukan bagaimana kalau produk mereka ditiru dan dibajak pesaing. Padahal, berproduksi saja belum. Jangan salah, antisipasi harus. Tapi omong kosong jelas tidak.
Foto ilustrasi: empireflippers.com