Masa Kanak-kanak

diferenças culturaisSaya menulis posting ini dari sebuah gerai minimarket modern yang tepat berhadapan dengan sebuah TK plus. Saya tahu, TK semacam ini mahal biayanya. Dan terus-terang dulu saya tak punya kesempatan menikmati pendidikan berkualitas seperti anak-anak yang sekarang ada di depan saya. Walau begitu, saya masih bersyukur bahwasanya orangtua saya begitu berjuang untuk menyekolahkan saya hingga perguruan tinggi. Di daerah masa kanak-kanak saya, tentu masuk TK merupakan sebuah “kemewahan” tersendiri.

Apa yang saya ingin sekali katakan kepada anak-anak saya kelak adalah agar mereka menikmati masa kanak-kanak. Rasanya hampir semua anak ingin “cepat besar”. Itu karena pengaruh pergaulan apalagi iklan komersial di televisi. Padahal, menjadi “orang gede” itu nggak enak. Persis seperti iklannya provider telepon seluler “3”.

Secara psikologi, seseorang disebut berada dalam “masa kanak-kanak” hingga usia 12 tahun. Menurut Erik Erikson, ada 3 tahap masa kanak-kanak setelah masa menyusui dari 0 hingga 1 tahun, yaitu masa kanak-kanak awal (1-3 tahun), masa bermain (3-6 tahun) dan usia sekolah (6-12 tahun). Dalam agama Islam, seseorang dianggap memasuki usia kedewasaan bila mendapatkan tanda-tanda alami “akil baligh”, yaitu menstruasi bagi wanita dan keluar sperma pertama kali melalui mekanisme “mimpi basah” bagi pria.

Cuma 12 tahun dari rata-rata usia manusia 65-70 tahun yang disebut sebagai “masa kanak-kanak”. Dan ini adalah “golden age” dimana manusia dibentuk. Agama saya Islam sejak 14 abad lalu telah menyebutkan bahwa anak-anak adalah “sehelai kertas putih”. Ia suci tanpa noda, tanpa dosa. Dunia terutama orangtuanyalah yang membentuknya dan mengisi kertas putih itu. Ini kemudian diformulasikan dalam filsafat sebagai konsep “Tabula Rasa” oleh Ibnu Sina dan Ibnu Tufail. Filsuf yang juga pastor St. Thomas Aquinas kemudian juga ikut mengetengahkan hal ini. Di abad pertengahan, konsep ini dipertajam lagi oleh John Locke, Thomas Hobbes dan akhirnya digunakan dalam psikoanalisa oleh Sigmund Freud.

Karena itu, bagi Anda yang kini sudah memiliki anak, maka perlakukan mereka sebagai anugerah. Mereka adalah titipan Tuhan yang bukan sekedar harus dijaga, tapi juga harus dikembangkan. Ibarat pohon, mereka tidak akan berbuah atau berbunga kalau tidak dipupuk, disiangi dan disirami dengan benar. Tidak hanya dari segi materi termasuk memberikannya makanan, pakaian dan tempat tinggal layak, juga dari segi pendidikan dan kesehatan. Tapi yang terpenting justru faktor psikologis. Buatlah anak merasa aman pada dirinya das ding an sich sehingga self esteem-nya tumbuh. Dengan begitu, kelak saat dewasa ia akan mentas “jadi orang” dan bisa membalas budi kepada orangtuanya. Ingatkan mereka, dan ingatkan diri Anda juga, bahwa masa kanak-kanak itu akan segera berlalu. Dan saat ia telah lewat, maka tak akan kembali lagi. Inilah masa terpenting dalam hidup manusia, karena di sinilah fondasi hidup diletakkan.

 

Foto ilustrasi: wwwideiasubalterna.blogspot.com

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s