Ada satu hal yang saya syukuri kembali berprofesi sebagai usahawan di Jakarta. Itu adalah saya tidak harus terjebak pada rutinitas kemacetan tiap pagi dan sore. Tentu selain penghasilan lebih baik dan kesempatan mengembangkan diri lebih optimal. Melihat berita pagi sambil santai “ngupi2” tentu sebuah kemewahan tersendiri. Santai, tapi tetap disiplin menyelesaikan target. Karena tentu tetap ada pekerjaan yang harus selesai. Bedanya, pemberi kerja bukan lagi atasan melainkan client. Meski ada jabatan semu di perusahaan client dan aneka fasilitas lain, posisi saya bukan lagi “bekerja di” melainkan “bekerja untuk”. Mesin pencatat waktu kehadiran tak berlaku bagi saya.
Saat hujan deras dan jalanan macet seperti kemarin, saya bisa dengan santai mengubah jadwal. Apalagi saya ada urusan keluarga. Bahkan tanpa diduga, alhamdulillah malah dapat berkah dari ALLAH Yang Maha Kaya. Telepon berdering memberikan tawaran rezeki. Satu dari dalam negeri, satu bahkan dari luar negeri. Terpujilah ALLAH, Tuhan Yang Maha Baik dan Maha Penyayang.
Namun, ‘posisi dalam hidup’ ini diraih ‘dengan darah dan air mata’. Tidak mudah. Apalagi sebenarnya tantangan justru hadir dari orang yang tadinya paling dekat. Dia yang mengetahui hampir semua ‘rahasia hidup’ saya. Kini malah berbalik berusaha menghancurkan saya dan usaha yang tadinya kami bangun bersama.
Toh saya bertahan. Mencoba mensyukuri apa yang tersisa. Dihina, dilecehkan, diremehkan, bahkan diancam secara fisik tak lagi merisaukan saya. Semua itu cuma membuat saya makin mantap melaju sebagai usahawan. Karena sungguh, saya merasakan keberkahan berlimpah di sini, yang tidak melulu berupa apartemen mewah, mobil bagus, dan jalan-jalan ke luar negeri. Apalagi cuma hati yang tak setia berpaling semata untuk segelintir harta. Eaaa…
Ilustrasi: technorati.com