Maqom itu bahasa Arab yang arti harfiahnya “tempat” atau “kedudukan” atau “pijakan”, bukan “makam” meski justru tulisan dan pelafalannya mirip. Maka, salah kaprah bila ada yang mengira “maqom Ibrahim” di dekat Ka’bah adalah makam dari Nabi Ibrahim a.s. Saya beberapa kali mendapati hal ini di buku para orientalis yang menuduh orang Islam “menyembah batu dan makam”.
Bila membicarakannya dalam konteks “posisi dalam hidup“, maka itu bisa berarti status sosial, pendidikan, kekayaan, dan sebagainya. Secara kasat mata, banyak hal bisa terlihat dalam hal ini. Tapi ada juga yang tidak terlihat karena termasuk intangible assets seperti ilmu, pengetahuan, pengalaman, kompetensi, bakat, atau malah kebiasaan.
Nah, seringkali, sebagaimana dituliskan oleh Kristi Poerwandari dalam artikelnya berjudul “Wajah Terburuk” (bisa dibaca dengan meng-klik link ini), kita cenderung mencari pembenaran atas tindakan diri sendiri. Studi ini dilakukan oleh Valdesolo dan DeSteno tentang perilaku permisif kita terhadap diri atau kelompok sendiri walau itu sebenarnya melanggar aturan. Secara luas, itu bisa diartikan sebagai “over estimated” terhadap diri sendiri.
Secara narcisstic, kita menganggap diri kita yang paling hebat, paling pintar, paling tampan/cantik, paling dahsyat, paling luar biasa, dan lain-lain. Apalagi di era web 3.0 yang makin interaktif ini, setiap orang berhak mengekspresikan diri melalui social media. Apalagi ditambah provokasi para motivator, maka kita yang berpuluh tahun ditekan penguasa totaliter Orde Baru seperti berada dalam euforia kebebasan. Masing-masing individu merasa diri dahsyat dan luar biasa, sehingga “over pe-de”.
Saya juga seringkali begitu, tapi justru banyak pengalaman hidup yang membuat saya njelungup (bahasa Jawa, artinya kira-kira mirip “terjerembab” tapi lebih… gimana ya? Lebih fatal deh, karena muka kita menghadap ke bawah). Saya malah jadi tahu bahwa saya tak tahu apa-apa. Menurut Aristoteles, orang paling bodoh di dunia adalah “orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu”, dan sebaliknya orang paling bijak adalah “orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu”.
Profesor Sarlito Wirawan Sarwono salah satu yang tampaknya tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Mohon maaf Profesor, Anda memang ahli psikologi, tapi saya rasa Anda bukan ahli agama. Maka, di suatu kesempatan seusai membaca artikel beliau di Koran Sindo, saya langsung mengirim cuitan Twitter kepada beliau. Intinya satu: kalau memang tidak mengerti, jangan teriak-teriak. Dan kalau maqom kita belum sampai, jangan menghina yang sudah mampu mencapainya dengan susah payah.
Coba deh Anda baca cuitan saya itu. Bagi saya, beliau kebangetan. Ibaratnya, kita jelas tidak mampu menendang bola seperti Christiano Ronaldo atau Lionel Messi. Tapi, saat menonton di televisi tendangan mereka tidak masuk, dengan entengnya kita memaki, “Goblok!” Padahal untuk bisa begitu, Ronaldo dan Messi tidak mengandalkan bakat bawaan lahir semata, tapi mereka berlatih berjam-jam setiap harinya. Bahkan seringkali saat teman-temannya sudah pulang, mereka tetap berlatih sendirian. Ada latihan pembiasan berdisiplin ketat yang mereka lakukan tanpa setahu orang lain. Kalau bahasa agama Islam-nya riyadhoh.
Hati-hatilah dengan orang lain. Apalagi saat memberi nasehat orang lain. Lihat-lihat dulu situasinya, pelajari latar belakang orang yang ingin diberi nasehat. Ojo rumongso bener dewe (maaf bahasa Jawa lagi, arti harfiahnya “jangan merasa benar sendiri”, tapi kata “rumongso” itu lebih dalam lagi makna sebenarnya). Selalu ada kebenaran di setiap hal, bahkan di orang yang kita pandang paling tidak benar sekali pun. Hati-hati…