Kemasyhuran itu efek atau tujuan? Seringkali, kita menjadikannya tujuan. Padahal seharusnya itu efek samping saja dari kerja keras kita di bidang masing-masing. Banyak orang berusaha dengan segala cara yang dimungkinkan untuk menjadi terkenal. Contohnya adalah dengan mengikuti kontes atau audisi calon bintang. Entah itu dalam bidang seni tarik suara, menari, atau lainnya. Padahal, seringkali mereka tidak memiliki talenta, bakat, kompetensi atau kemampuan memadai.
Saya pun begitu. Ini karena masalah psikologis. Seringkali pencitraan diri saya terlalu “memabukkan”. Sehingga, bak jurus “Dewa Mabuk”, serangan saya menjadi tidak fokus. Meski bisa jadi menang, tapi saya merasa tidak efektif dan efisien caranya. Membuang waktu, energi, dan tentunya biaya. Saya seringkali memaksa orang lain menempatkan saya di “panggung utama”, padahal belum tentu saya pantas di situ. Ini terutama karena faktor saya yang anak tunggal dan di keluarga besar dikenal sebagai “anak raja”.
Tapi dunia luas. Sama halnya dengan raja betulan, tak ada satu penguasa tunggal di planet ini. Raja, presiden, atau apa pun sebutan pemimpin di satu tempat, jelas bukan pemimpin di tempat lain. Ratu Inggris bukan Raja Spanyol, PresDir PT A bukan CEO PT B, bahkan kepala keluarga pun cuma bisa maksimal 4 dalam agama Islam. Selain itu bukan.
Saya yang bodoh dan tolol ini baru menyadari hal ini beberapa waktu belakangan. Selama ini, saya memaksa diri “eksis” dengan segala cara. Memang, bagi orang lain saya ini “eksis”. Tapi tidak bagi keluarga saya. Apa pun achievement saya, tetap saja saya dianggap anak kecil. Sampai seorang sepupu saya menyadari “siapa saya dalam hidup”, ia terkejut. Itu karena ia akhirnya terkoneksi dengan saya di dunia maya. Kalau Anda terkoneksi dengan saya di FaceBook misalnya, akan melihat bahwa saya tak punya kerabat atau saudara dalam kontak saya. Orangtua saya jelas tidak melek internet, kebanyakan keluarga besar saya juga, tapi ada para sepupu dan keponakan yang punya account FaceBook, toh tidak ada yang terkoneksi dengan saya. Sampai satu orang akhirnya menanyakan dan terkoneksi.
Di rumah orangtua, kita selalu jadi anak kecil. Ibu saya tak pernah mau diimami shalatnya oleh saya. Padahal saya sudah sangat terbiasa menjadi imam di mana-mana. Imam Ali r.a.k.w. saja sudah diangkat menjadi Panglima Perang Pasukan Islam oleh Baginda Nabi SAW sendiri pada usia 14 tahun. Tapi saya tahu, bukan hanya saya yang mengalami problema ini. Bagi Bapak saya masalahnya lain lagi. Karena beliau bisa dipandang berhasil dari segi finansial, apa pun pencapaian saya dipandang sebelah mata olehnya. Penghasilan berderet angka nol yang bagi banyak orang masih mimpi dipandang tidak ada artinya bagi beliau.
Problema “tidak aman” di rumah ini menimbulkan masalah dalam “self esteem” saya. Kalau Anda baca tulisan saya apalagi pernah bertemu dengan saya langsung, jelas akan melihat saya ini sangat “self confidence”. Tapi jauh di dalam jiwa, saya merasa tidak aman. Berderetnya gelar akademis dan kompetensi adalah salah satu upaya saya “membuktikan diri” kepada kedua orangtua. Tapi, itu tetap belum cukup.
Bila kompetensi akademis dan kemampuan finansial tak bisa memuaskan orangtua saya, mungkin kemasyhuran bisa. Begitu pikir saya. Saya pun berupaya menjadi masyhur. Tapi ternyata belum berhasil. Dan saya kelelahan. Saya seperti Achilles yang mengejar kura-kura. (penjelasan soal analogi filsafat ini bisa dibaca di artikel berjudul “Kelebihan vs Kekurangan”).
Sampai saya akhirnya tiba di satu titik pencerahan: semua itu tak penting. Saya akhirnya sadar, batas langit yang ditetapkan orangtua saya tak berbatas. Tak akan pernah ada kata cukup bagi mereka.
Semua hal yang saya lakukan saya kembalikan kepada ALLAH SWT. Memang ini sering saya tulis dan ucapkan. Tapi baru mak jleb kesadarannya akhir-akhir ini. Bahkan kini saya tak lagi risau apabila ada masalah menimpa saya. Seperti beberapa hari lalu kunci mobil saya patah di rumah setir justru saat saya hendak buru-buru berangkat dari Rumah Sakit tempat Ibunda saya dirawat. Saya sangat santai. Juga saat mantan pasangan saya yang sangat pemarah -padahal dulu peramah- berkomunikasi, saya pun sangat santai.
Saya tadi malam berkomunikasi dengan seorang yang sebenarnya bukan entertainer, tapi bisalah dibilang “seleb” karena seringnya muncul di televisi tempatnya bekerja. Dari dia, saya tahu tayangan langsung sebuah acara “lucu-lucuan” ternyata cuma skenario. Tapi di skenario itu, ditampilkan seorang crew televisi yang ngebet jadi artis. Ia bahkan menyatakan “Saya sih udah siap ngetop”.
Dan saya bisa melihat dengan jelas, bahwa orang yang “pingin ngetop” itu jelek banget! Maka, saya tak lagi ingin masyhur. Apalagi saya ingat adagium, bahwa kemasyhuran sebenarnya adalah sangkar emas. Kita menjadi terpenjara oleh keterkenalan kita sendiri. Apa pun yang dikerjakan, orang lain melihat kita dengan antusias seperti ikan dalam aquarium. Hiks! Tidak enak!
Ilustrasi produk dari swagthegame.spreadshirt.com