Berbeda dengan kebanyakan motivator, karena saya juga bukan motivator, saya akhirnya sampai pada kesadaran bahwa “menjadi nomor satu itu tidak penting”. Seharusnya, saya menyadari ini sejak SMP. Dimana saat itu saya yang merupakan salah satu siswa terbaik di kabupaten saya, hijrah ke ibukota dan masuk ke SMP terbaik di negeri ini. NEM (Nilai Ebtanas Murni) saya yang terbaik kedua di sekolah dan salah satu yang terbaik di kabupaten jadi nomor tiga dari bawah di SMP itu. Saya nyaris tidak diterima dan hanya terpaut tiga nomor dari cadangan. Dahsyat kan? Saya shock berat saat itu, cuma tidak menyadarinya saja.
Saat akhirnya berhasil masuk di sana, otak saya nyaris tidak ada apa-apanya. Saya cuma mampu menjadi ranking 5 di semester pertama, setelah itu amblas ke bawah hingga belasan. Dulu, sekolah memang masih memakai sistem peringkat terpusat. Jadi, hanya ada 1 ranking 1 di setiap kelas. Berbeda dengan sistem sekolah plus zaman sekarang yang memiliki ranking untuk setiap kompetensi sehingga ada banyak juara. Atau malah sama sekali tak ada ranking dan diganti dengan sistem penghargaan lain.
Maka, prestasi akademik saya menurun. Meski ada faktor luar, dan sebenarnya itu menurut psikolog lebih besar, tapi saya memilih mengambil tanggung-jawab kepada diri sendiri. Itu karena saya tidak konsisten dalam belajar. Apalagi ditambah posisi orangtua saya yang berkecukupan, saya merasa tidak perlu mengejar beasiswa. Barulah pada saat S-2 saya berupaya mencari beasiswa. Padahal, saya seharusnya sadar bahwa saya tak bisa lagi jadi nomor satu di bidang akademik. Dan untuk mengatasinya, seharusnya saya berbuat sesuatu dan bukannya menghindari tantangan.
Ketololan saya terus berlanjut dengan berupaya menjadi nomor satu di semua bidang yang saya masuki. Tapi kini tidak lagi. Saya malah mundur dari beberapa hal, memberi ruang orang lain untuk maju. Dulu, mengalahkan orang lain terasa nikmat. Tapi saya baru menyadari makna “menang tanpo ngasorake” yang dulu sering diucapkan Pak Harto. Artinya adalah “menang tanpa merendahkan”.
Saya ini sombong, jadi mudah merendahkan orang lain. Saya juga congkak, jadi merasa diri harus jadi nomor satu.
Sekarang, semua tak penting lagi. Saya cuma ingin menjadi “saya yang terbaik”. Mendedikasikan 24 jam waktu hidup saya bagi perbaikan diri terus menerus (bahasa Jepangnya “kaizen”) dan berupaya membantu orang lain sebisa saya. Melayani mereka yang mencintai saya dengan tulus, termasuk orangtua dan keluarga yang selama ini seringkali saya abaikan atas nama kesibukan. Berbuat baik kepada mereka yang sudah berbuat baik kepada saya. Dan sekuat tenaga tetap berupaya berbuat baik kepada mereka yang jahat kepada saya. Karena saya akhirnya sadar, dikenang sebagai “orang baik” saat mati jauh lebih penting daripada “si nomor satu yang pongah”.
Foto ilustrasi: www.webpronews.com