Saat ini, Ibu saya sedang dirawat kembali di sebuah Rumah Sakit (RS). Dan untuk mempercepat pemulihan, kami meminta bantuan seorang sepupu sebagai “caregiver”. Ia bersama ibunya -tante saya- jauh-jauh datang dari Sidoarjo dengan biaya sendiri untuk membantu. Saya terus-terang terharu dan trenyuh. Ternyata keluarga saya begitu peduli dan tulus.
Saat beberapa hari lalu mentraktir mereka makan di sebuah restoran dekat RS, di raknya dijual buku karya Mario Teguh berjudul “Leadership Golden Ways”. Saya pun lantas membelinya, tentu karena tertarik pada nama besar pengasuh acara motivasi di Metro TV tersebut. Setelah saya baca, ternyata isinya -maaf ya Pak Mario, saya tahu Anda sering baca blog saya karena di TV seringkali muncul idiom dan tema yang khas dari blog ini,hehe- biasaaaa banget. Saya tidak membandingkan dengan motivator luar negeri, tapi saya bandingkan dengan bukunya Jamil Azzaini, Ippho Santosa, Tung Desem Waringin atau Ary Ginanjar Agustian, buku Mario Teguh kalah “berisi”. Selain kurang referensi, juga tidak ada “hal baru”.
Tapi sebagai orang yang pernah ditugasi “menjual buku” dan pernah kuliah di ilmu perpustakaan, saya lantas tertarik mencermati data penerbitannya. Buku yang saya beli itu terbitan tahun 2009. Dan karena dijual di sebuah rumah makan, berarti kesulitan masuk dan bertahan di toko buku. Saya sendiri memang tidak mendapati buku Mario Teguh di rak-rak “Best Seller” di toko buku ternama.
Apa artinya? Ternyata, gagal itu lumrah. Dan kita tidak bisa berhasil di semua hal yang kita jalani. Mario Teguh boleh berbangga dan mengklaim sebagai motivator nomor satu di Indonesia -meski Andrie Wongso juga mengklaim hal yang sama-, tapi ternyata penjualan bukunya seret. Dibandingkan Ary Ginanjar Agustian yang buku ESQ-nya sempat meledak apalagi Tung Desem Waringin yang memecahkan rekor MURI, tentu tidak ada apa-apanya.
Saya juga menarik pelajaran, bahwa semua hal dalam hidup perlu proses. Tidak instant dan seketika. Bahkan Mario Teguh perlu waktu untuk dikenal. Juga tentunya orang-orang lain. Namun, dengan percaya pada “mestakung” dan “butterfly effect“, saya percaya ini bukan kebetulan. Ibu saya dirawat di RS yang sebelumnya bahkan kami tidak pernah ke sana, lantas makan di restoran yang belum pernah saya kunjungi, untuk kemudian ‘bertemu’ dengan Mario Teguh dan membeli bukunya jelas petunjuk Tuhan, bahwa inilah “jalan hidup” yang harus saya tekuni dengan konsisten. Untuk menjadi “matahari” bagi banyak orang, dan bukan sekedar “lilin” untuk satu orang. Insya ALLAH. Semoga Tuhan memberkati. aamiin.
Foto: bejubel.com