Kompetensi & Ketrampilan

professional photographer

Ternyata, ada banyak hal yang jadi kompetensi dan ketrampilan saya sukar bagi orang lain. Salah satunya adalah fotografi. Sejak SD, saya sudah memegang kamera SLR (Single Lens Reflect). Beberapa kali saya juga memenangkan kejuaraan fotografi, walau kelas “ecek-ecek”. Sempat jadi pewarta foto atau fotografer media massa, tapi kemudian lebih memilih jalur kehidupan lain. Ingin pula jadi “fotografer salon” sewaktu muda, termasuk sempat ingin jadi anggota RPS (Royal Photographer Society) Inggris, sudah minta formulir tapi minder karena kurang modal. Maklum, fotografi itu hobby mahal. Harga perlengkapannya bisa membuat orang tercengang. Seorang rekan saya yang fotografer media terkemuka satu ketika pernah berkata, bahwa kamera yang dibawa di tasnya harganya kalau dirupiahkan masih bisa membeli mobil Avanza dan ada kembaliannya! Karena itulah antara lain membuat saya menghentikan karier sebagai fotografer. Itu masih ditambah trauma karena saya dikhianati pasangan hidup saya terdahulu yang seorang jurnalis. (cerita soal ini ada di artikel berjudul Fotografer Tak Berkamera).

Dalam fotografi yang terlihat mudah karena tinggal pencet satu tombol kecil dengan ujung jari telunjuk, ternyata ada koordinasi antara otak, mata dan tangan yang erat. Ada aspek kognitif dan motorik yang harus kuat. Fotografer pemula kebanyakan mengalami masalah yang disebut handshake atau getaran tangan sehingga hasil fotonya bergoyang. Ini memang perlu latihan. Dulu, sewaktu SD-SMP saya berlatih memegang kamera yang berat selama beberapa lama. Hasilnya, sewaktu SMA alhamdulillah saya mampu memegang kamera dengan kecepatan rana B (Bulb atau terbuka) selama sekitar 15 detik tanpa goyang. Ini mungkin terlihat sebentar, tapi cobalah sendiri. Kebanyakan orang bahkan tak mampu bertahan lebih dari 1 detik! Salah satu hasil terbaik saya adalah saat meliput Ulang Tahun Emas Kemerdekaan Ke-50 Indonesia di Monas yang menampilkan atraksi pesta kembang api terhebat sepanjang sejarah negara ini.

Ada dua tantangan berbeda antara pewarta foto dan fotografer salon (studio). Bila yang pertama membutuhkan kecepatan dan kejelian, yang kedua sebaliknya kesabaran dan ketelitian. Biasanya, seseorang akan menemukan ‘jalan hidup’nya di usia 30-an, mau memilih kutub yang mana. Ada pula yang memilih jadi pewarta foto dulu, namun saat menua menjelang pensiun sebagai tabungan hari tua lantas membuka studio foto komersial. Pengertian studio foto ini bukan sekedar untuk pas foto KTP lho, tapi juga foto studio ala model bahkan hingga pemotretan produk untuk iklan. Dan pemasukannya sangat yuuhuuu, walau modalnya juga aduhai…

Karena kini alhamdulillah secara finansial saya sudah jauh lebih baik daripada sepuluh tahun lalu saat saya kehilangan pasangan hidup pertama saya, maka saya berniat serius kembali menekuni dunia ini. Sayangnya, ini sangat skillfull. Artinya, ia memerlukan kehadiran sang fotografer sebagai artis atau seniman itu sendiri yang memiliki kompetensi dan ketrampilan memadai. Fotografi tidak bisa diwakilkan atau didelegasikan begitu saja. Bahkan di era digital seperti sekarang. Namun insya ALLAH tahun depan saya sudah akan siap. Kini, saya mulai mendokumentasikan kembali foto-foto lama saya. Karena dulu sewaktu saya aktif sebagai fotografer masih era klise dan slide. Bila sudah, insya ALLAH akan saya publikasikan melalui situs internet juga. Ini selain agar kenangan itu terjaga, juga sebagai dokumentasi portofolio saya.

Terus-terang, saya iri pada kesuksesan seorang teman baru saya, mantan Ketua TDA JakSel Bapak Bambang Eko Samyono. Beliau ini punya banyak talenta. Selain sebagai dosen yang bergelar doktor bidang SDM, beliau juga pengusaha sukses dengan omzet yang sudah bikin mata “ijo”, pandai menulis termasuk novel dan sudah diterbitkan pula bukunya, dan yang terpenting juga jago fotografi. Cobalah tengok situsnya http://be-samyono.com. Pasti Anda akan kagum seperti saya.

Saya sih tidak bakalan bisa mengejar beliau. Paling-paling cuma mengejar bayangannya saja seperti Achilles mengejar kura-kura (baca lagi artikel ini dan itu). Tapi setidaknya dengan menyadari bahwa sebenarnya saya punya kompetensi dan ketrampilan yang jauh lebih bagus daripada fotografer amatiran suami orang yang memotret mantan pasangan hidup saya yang kemarin, saya jadi bisa lebih mensyukuri hidup. Terpujilah Tuhan Yang Maha Pemberi, yang telah menganugerahi manusia dengan perangkat optik dan kamera terhebat: mata.

Foto: thezooom.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s