Bahagia itu apa sih? Lemari buku saya penuh buku-buku motivasi. Kebetulan kalau sedang ada rezeki, saya memilih membeli buku atau barang koleksi daripada yang lainnya. Maka, kini saya punya ribuan buku yang tersebar di beberapa properti milik saya. Belum ada alokasi dana untuk membuat satu perpustakaan terpusat seperti mantan senior saya Fadli Zon (Saya pernah kenal dia, tapi saya tidak yakin dia ingat pada saya. Maklum, sejak mahasiswa dia sudah seleb, sementara saya mahasiswa kampungan. Hehehe).
Nah, membeli buku itu terus-terang memberi satu perasaan tersendiri bagi saya. Bukan sekedar senang, tapi puas. Kalau ada orang lain yang punya prinsip “mending nggak makan daripada nggak ngerokok”. Bagi saya, “mending beli dan baca buku sambil makan”. 😀
Hari Minggu kemarin, satu buku lagi masuk ke koleksi saya, yaitu buku berjudul “Happiness Inside” karya Gobin Vashdev yang saya sebut di tulisan kemarin. Jujur saja, saya merasa guoblok buanget karena tidak tahu siapa dia. Ternyata, di dunianya, dia itu seleb juga. Mengajar dan memberikan pelatihan di mana-mana, mungkin muridnya juga ada di mana-mana. Dari namanya, kita bisa tahu bahwa ia keturunan India. Cuma, tadinya saya kira orang India asli. Ternyata arek Suroboyo.
Saya baca bukunya… Hmmm, so-so sih… Saya tetap belum bisa mendapatkan clue apa sih happiness itu?
Ya, ya, ya, secara teori saya tahu apa itu “kebahagiaan”. Tapi, saya kok merasa belum menemuinya ya? Kalau diajak diskusi, hampir semua “guru kebahagiaan” itu kesulitan menjawab pertanyaan saya. Mungkin, mereka jengkel juga pada wong ngeyel seperti saya. Orang yang cuma mau cari gratisan. Nekat menemui dan mengejar mereka yang seleb sehabis jadi pembicara atau trainer. Intinya, bisa jadi karena saya gratisan itu, jawabannya jadi tidak memuaskan.
Tapi ya musti gimana dong, seringkali ikut seminar atau pelatihannya saja sudah bayar. Kalau untuk bayar privat, terus-terang saya eman pada uang saya. Mending buat beli cendol saja. Karena seperti saya bilang, saya ini bukan orang kaya. Kalau ada uang seharga motor harus dibayarkan kepada mereka cuma untuk mendapatkan nasehat, saya rasanya eman. Tapi, saya bersedia membayar harga yang sama bila saya mendapatkan ketrampilan atau kompetensi tertentu.
Eh, tapi itu kan negative thinking ya? Katanya salah satu kunci happiness adalah positive thinking. Jadi, supaya positif bagaimana ya?
Alright. Sekarang, bagaimana kalau dibalik? Supaya positif, maukah mereka para penulis buku dan “guru kebahagiaan” itu memberikan uang seharga biaya konsultasi mereka kepada setiap penanya? Kan pasti setiap penanya apalagi yang geblek seperti saya bahagia tuh?
Tet-tot… saya salah lagi.
Uang bukan sumber kebahagiaan. Itu kata mereka. Baiklah. Lalu kenapa mereka minta bayaran dari pengajarannya sebagai “guru kebahagiaan” ya? Bukankah jelas kita tidak bisa hidup tanpa uang? Bisa, katanya. Tapi dengan menjadi fakir seperti para biarawan dan biarawati. OK. Itu bukan hidup tanpa uang. Itu sikap hidup anti uang. Tapi, mereka tetap butuh uang. Hayo!
Yuk, yuk, fokus lagi…
Bahagia itu katanya di dalam. Dalam mana? Celana dalam?
Trauma healing yang saya pernah ikuti pelatihannya dan baca panduannya (saya punya yang tebalnya setara kamus, hah!) cuma mengajarkan pelepasan. Melepaskan apa yang sudah tak bisa dipegang. Ya, itu namanya prinsip “habis mau gimana lagi?” dong. Saya rasa, itu bukan bahagia.
Bahkan, film Pursuit of Happyness (2006) kesukaan saya pun mengkaitkan bahagia dengan kesuksesan. Dan kesuksesan di sini par se secara finansial. Jadi, uangkah sumber bahagia? Kalau begitu, makna “bahagia di dalam” harus ditambah dong, jadi: “bahagia di dalam dompet”. 😀
Catatan: Go ahead kalau Anda menilai saya sarkastis dan pesimistis, yang jelas saya senang tahu petis. Halah!