Anda pasti berpikir, jadi orang berkelebihan itu enak. Contoh yang diambil adalah orang kaya karena ia berkelebihan harta. Demikian pula pria ganteng atau wanita cantik tentu lebih daripada orang lain. OK. Bagaimana kalau Tuhan memberi “kelebihan” dalam arti lain? Bagaimana kalau kepala Anda dua? Bagaimana kalau jari Anda delapan? Lebih kan?
Sebenarnya, yang paling enak itu normal sesuai takaran kita. Kalau ada satu gelas berkapasitas 200 cc, diisi air dari teko berkapasitas 1 liter (1.000 cc), tentu tak akan muat bukan? Airnya akan tumpah ke mana-mana.
Tiap orang itu sudah punya kapasitas sendiri. Cuma, kita tidak lahir dengan buku panduan (manual book). Maka, kita tidak tahu batas kapasitas itu sampai kita mencoba menembus batas itu sendiri.
Membandingkan diri dengan orang lain, seringkali cuma melahirkan rasa berkekurangan. Apalagi kalau kita cuma melihat ke “atas”. Cobalah seperti saya, melihat dengan pemaknaan berbeda. Saya yang sombong ini justru melihat ke “atas” untuk membuat saya menunduk. Masih banyak yang di “atas” saya, dan bukan tugas saya dalam hidup ini untuk mengejar mereka. Bila saya melakukan “pengejaran” kepada orang lain, saya cuma akan seperti Achilles yang mengejar kura-kura (baca kembali artikel saya yang berjudul Menjadi).
Dalam filsafat, meski Achilles dikenal sebagai manusia tercepat turunan Dewa Hermes sebagai dewa pelari tercepat yang tugasnya membawa pesan di Olympus, namun ia tak akan pernah bisa mengejar kura-kura sebagai hewan terlambat di dunia. Itu bila sang kura-kura dibiarkan berjalan lebih dulu beberapa saat. Ini filosofis lho, bukan matematis. Artinya, bila ada orang yang sudah start lebih dulu di suatu fase kehidupan, kita mustahil mengejarnya. Karena bila kita bisa menyamai bahkan melewati pencapaiannya, ia sesungguhnya tetap tak terkalahkan di beberapa faktor.
Bingung?
Gini deh, saya ambil contoh konkret. Ada teman kita yang orang kaya. Dia punya mobil mewah seharga 5 milyar yang baru dibeli tahun 2013. OK? Satu saat, berkat kerja keras ditambah keberuntungan dan berkah Tuhan, kita juga bisa punya mobil yang sama. Katakanlah 5 tahun lagi, tahun 2018. Nah, saat kita punya mobil yang sama di tahun 2018, sebenarnya bagaimana kondisi mobil itu dari pabrikannya? Keluaran tahun 2013 bukan? Mobil itu meski brand new kita beli dari show room, tetap keluaran lama. Dan andaikan harta teman kita itu tetap sehingga dia tidak mampu membeli mobil baru lagi, dia tetap lebih depan daripada kita. Dalam hal apa? Dia sudah menikmati mobil mewah itu sejak 5 tahun lalu, dan… dalam kondisi benar-benar baru fresh from the oven dari pabriknya. Sementara mobil mewah yang sama yang kita beli sudah ngendon di showroom, atau setidaknya di katalog, selama 5 tahun. Got it?
Nah, kesadaran itu membuat saya tidak mau mengejar apa-apa lagi. Terus-terang, masalah terbesar saya justru ayah saya yang rumongso hebat itu. Di mata beliau, saya tak pernah sempurna. Apalagi soal harta. Meski sudah pernah mendapatkan achievement begitu besar dari segi nilai uang, apa yang saya capai tak ada apa-apanya dibandingkan dia. Ya iyalah, beliau sudah 30 tahun di depan saya. Kalaupun beliau kura-kura tadi, dia sudah lebih dulu 30 tahun berlari. Saya meski pelari cepat, tetap tak akan dapat mengunggulinya. Andaikata saya bisa menyamai nilai uang yang dikumpulkannya sekali pun, dia sudah memiliki angka itu 20 tahun lalu. Maka, uang saya cuma jadi roti basi.
Maka, saya memilih untuk fokus pada kelebihan saya. Ada kekurangan di sana-sini, tapi seharusnya itu tak membuat saya merana. Saya harus bahagia. Dan terus-terang buku lucu karya Andrew Matthews yang berjudul Happiness Now (2005) cukup membantu. Salah satu kartunnya saya tampilkan sebagai ilustrasi artikel ini. Lucu ya?
Ilustrasi diambil dari Andrew Matthews. Bahagia Sekarang (diterjemahkan dari Happiness Now! oleh Arvin Saputra). Jakarta: Karisma, 2007. p.64.
Ping-balik: Kompetensi & Ketrampilan | LifeSchool by Bhayu M.H.·
Ping-balik: Masyhur | LifeSchool by Bhayu M.H.·