Anda tahu tidak enaknya jadi figur publik? Mereka harus selalu tampil sempurna di hadapan orang lain. Terutama sekali di soal mood terkait suasana emosional secara psikis. Masyarakat mengharapkan figur publik sebagai panutan yang seolah tanpa cela. Karena itulah, saat ada kejadian yang menimpa figur publik, lantas terasa besar karena dibesar-besarkan oleh media massa. Padahal, bagi orang biasa, kejadian itu ya biasaaa banget.
Misalnya saja soal gaya berpakaian atau tempat berlibur. Bagi orang biasa, mau dia pakai baju kedodoran atau berlibur ke tempat aneh, tidak akan dipedulikan. Hanya saja, sekarang setiap orang berkesempatan eksis lewat aneka jenis social media seperti halnya blog. Namun, dijamin media arus utama tidak akan mempedulikan itu semua. Kecuali, kecuali jika dan sangat kecuali jika orang biasa itu mengalami kejadian sangat unik sehingga masuk kategori layak berita.
Sebenarnya, setiap kita ini “figur publik” dalam tataran tertentu. Artinya, wajah yang kita tampakkan ke hadapan umum pasti berbeda dengan di hadapan orang-orang terdekat (inner circle) kita. Ambil contoh saya saja misalnya. Oleh orang lain yang tidak kenal dekat, saya akan dilihat sebagai orang yang murah senyum (seperti pernah dipujikan oleh Rene Suhardono di suatu forum pengusaha) atau rendah hati (seperti baru saja pagi ini dipujikan oleh Pak Imrony Hidayat di What’sApp TDA Jakarta Selatan). Padahal, aslinya saya ini pemarah dan sombong lho. Tanya saja sama AMP dan YPP, dua mantan pasangan saya. Hehehe.
Maka, jangan heran kalau Anda satu saat punya kesempatan mengikuti kehidupan di luar panggung dari figur publik, maka akan “keluar aslinya”. Bahkan kalau kenal lebih jauh lagi, bisa jadi akan terkaget-kaget karena pencitraannya “tak seindah warna aslinya”. Ada yang terkesan alim dan santun padahal hedonis dan kasar. Ada yang suka mendakwahi orang lain padahal dirinya sendiri melanggar banyak sekali larangan agama. Ada yang mencitrakan diri bersih padahal korupsinya luar biasa. Ada yang seolah sayang pada pasangan padahal punya simpanan dan “suka jajan”. Dan sebagainya, dan lain-lain.
Karena itu saya mengelus dada seraya mengucap innalillahi wa inna ilaihi raji’uun ketika janda seorang ustadz berseteru dengan keluarga lainnya, termasuk ibu kandung dan kakak kandung almarhum di lain pihak. Apa yang diributkan? Cuma soal pembangunan makam dan bentuknya. Astagfirullah. Kalau mau saklek pada hadits Nabi, sebenarnya malah dilarang membangun makam dengan bentuk apa pun. Makanya, di jazirah Arabia, biasanya makam cuma tanah ditandai batu. Bahkan seringkali tidak ada nisan dan tanahnya rata tidak ditinggikan. Namun, di Indonesia karena beradaptasi dengan budaya Hindu-Buddha, seringkali di atas makam dibangun satu cungkup atau minimal ditembok tanahnya dengan bata dan semen.
Saya tidak memperpanjang soal dalil bentuk makam. Saya cuma berpikir apakah keluarga almarhum tidak berpikir bahwa bukan cuma sang ustadz yang figur publik, tapi juga keluarganya pun jadi sorotan. Dengan begitu, seharusnya mereka tahu bahwa tindakan dan ucapan mereka selayaknya dijadikan panutan. Tidak perlu orang lain selain lingkaran terdekat tahu kepribadian atau karakter asli kita. Karena itu memang ranah privat. Apalagi bagi figur publk dan keluarganya, aneh kalau mengumbar emosi apalagi cuma demi konsumsi media. Naudzubillah min dzalik…
Foto: utusanriau.com