Saya agak heran dengan terjemahan bahasa Indonesia kita. Sebenarnya, kata “passion” dalam bahasa Inggris lebih tepat diterjemahkan menjadi “gairah”, karena kata “semangat” dalam bahasa Inggris adalah “spirit”. Nah, kata “spirit” ini ternyata juga bisa diterjemahkan menjadi “roh”. Masalahnya, saat hendak mencari ilustrasi untuk tulisan ini di google images dan mengetikkan kata kunci “gairah”, yang muncul adalah foto-foto dua insan berbeda jenis bercengkerama. Rupanya, makna “gairah” disempitkan menjadi semata “gairah seks”.
Kali ini saya tertarik membahas soal gairah ini karena beberapa waktu lalu membaca tulisan sobat saya Yuswohady di harian Seputar Indonesia. Saya kemudian mengetik ulang artikel itu sebagai bahan rujukan, dan bersama bahan-bahan rujukan lainnya dikumpulkan dalam satu blog baru bernama “Rujukan Bhayu“. Karena saya kini mencoba mendigitalisasi informasi terutama yang berasal dari koran dan majalah. Agar tidak hilang informasinya, namun fisik barangnya tidak lagi diperlukan, maka cara paling mudah dan murah adalah menjadikannya file yang diposting di blog.
Adapun tulisan dimaksud berjudul “Passion” (bisa dibaca di sini). Dalam tulisan tersebut, Yuswohady menegaskan bahwa kunci kesuksesan seseorang adalah passion. Di artikel tersebut, disebutkan sejumlah hal yang diambil dari penelitian John Hagel tentang “pursuing passion”. Saya sendiri merasa baru “menemukan diri kembali” beberapa waktu belakangan. Ada satu hal yang sebenarnya “gajah di pelupuk mata” tapi saya abaikan. Karena saya merasa itu tidak cepat menghasilkan uang. Namun, saya sadar, saat mengerjakan hal itu, saya bisa lupa waktu dan larut dalam kesenangan. Saya bisa tidak tidur tapi tidak mengeluh, malah saat tidur cuma sebentar memejamkan mata, inginnya bangun lagi dan mengerjakan pekerjaan itu.
Seperti saya tulis beberapa hari lalu, saya malah baru yakin pada passion saya setelah membaca buku tentang Steve Jobs. It’s okay tidak punya penghasilan selama beberapa waktu, selama kita yakin akan meraih suatu prestasi. Saya baru ngeh bahwa dunia ini memang dunia panggung. Atlet berlatih bertahun-tahun cuma untuk tampil beberapa menit di kejuaraan. Dan yang saya lupa, bahwa seluruh hidup ini sebenarnya latihan, dengan kejuaraannya mendadak tanpa pemberitahuan.
Saya lantas teringat film Enemy of The State (1998). Di film itu Edward Lyle (diperankan Gene Hackman) sebagai mantan agen CIA mempersiapkan rumah perlindungannya begitu rupa, sehingga saat terjadi serangan ia bisa meloloskan diri. Persiapan bertahun-tahun hancur dalam sekejap karena memang yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa. Dari situ, kita bisa menyetarakan bahwa yang terpenting dalam hidup adalah justru bertahan hidup itu sendiri.
Semangat itu sulit bila dicari dari luar. Karena sebenarnya motivasi terbaik itu harus datang dari diri kita sendiri. Dorongan atau drive untuk berprestasi haruslah dari dalam. Kalaupun ada yang dari luar, maka itu adalah Tuhan. Di saat tak ada satu manusia pun yang menghargai kita dan upaya yang kita lakukan, tataplah mentari. Yakinlah bahwa sang pencipta mentari itu sedang tersenyum melihat kita yang terus gigih berjuang tanpa pernah menyerah. Selama mentari masih terbit di pagi hari, selama itu pula masih ada harapan.
Kalau kita harus mengejar gairah -seperti tercermin dari arti “pursuing passion”-, bagi yang sudah dewasa membayangkan seks dengan kondisi sangat ideal -seperti dengan pria/wanita idaman di tempat yang nyaman- cukup bisa jadi sensasi. Bayangkan bahwa kita akan rela “melakukan apa saja” untuk mendapatkan gairah seperti itu. Dalam hidup, gairah serupa harus ditimbulkan saat mengerjakan sesuatu yang menimbulkan passion. Sebenarnya, cirinya adalah, kita rela tidak dibayar -bahkan membayar- untuk mendapatkan gairah itu. Nah, kalau ada pekerjaan yang membuat Anda merasa begitu, itulah passion. Jalani, nikmati, dan insya ALLAH Tuhan akan memuluskan jalan menuju keberhasilan. Percayalah!