Dahulu sekali, saya pernah membaca tulisan yang intinya mengatakan kita lebih sulit mengakui kesuksesan orang yang dekat atau kita kenal secara nyata dalam kehidupan. Alasannya sederhana, kita merasa dia tidak sehebat itu karena kita mengetahui kesehariannya. Misalnya kita lebih sulit mengakui kesuksesan adik kandung kita daripada tetangga lima rumah sebelah kita. Konon, kita akan jauh lebih mudah mengakui kesuksesan seseorang yang jauh hubungannya atau malah sama sekali tidak kita kenal. Katanya, itu terjadi karena kita tidak ‘melihat’ faktor apa yang membuatnya sukses karena –kalau kata orang kita-: “kan sama-sama makan nasi, apa bedanya?”
Saya lupa, siapa yang mengatakan atau buku apa yang menulisnya. Namun, saya merasakan benar betapa hal itu terjadi pada saya.
Dengan kemajuan social media, kita bisa melihat seberapa sering seorang aktif di situ. Saat ini, socmed terpopuler adalah FaceBook dan Twitter. Orang Indonesia “gila” dalam soal ini. Negara kita tercatat sebagai lima besar di dunia dalam soal penggunaan socmed. Dari socmed pula kita jadi mengenal terma baru seperti “Like This!”. Ini merupakan satu cara mengekspresikan kesukaan kita pada suatu apa yang diunggah (upload) orang lain. Itu bisa posting blog, status, komentar, note atau foto. Simbolnya pun sederhana dan mengena: jempol yang diacungkan.
Coba Anda perhatikan, account mana yang paling banyak mendapatkan “Like” ? Hampir pasti milik para figur publik atau institusi termasuk perusahaan. Di Indonesia, salah satu yang banyak mendapatkan jempol adalah account FaceBook milik Mario Teguh. Sementara di luar negeri, lebih beragam lagi karena adanya pengelolaan socmed secara profesional oleh tim yang disewa khusus untuk itu. Mulai dari artis, bintang film, band, hingga klub olahraga. Tak heran kalau status atau posting mereka terkesan dirancang rapi agar menarik audiens menekan tombol “Like”.
Saya jelas bukan figur publik. Hanya saja, di beberapa bidang dan kalangan tertentu, alhamdulillah saya rumongso cukup dikenal. Dan karena secara individual saya sedang membangun personal brand, maka saya pun merasa perlu sesekali menggunakan jasa profesional. Dan hasilnya memang lebih mudah dan cepat daripada bila saya melakukannya sendiri. Akan tetapi saya perhatikan, mereka yang kini sedang saya bangun menjadi “basis massa” saya adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengenal saya di kehidupan nyata. Begitu berjarak. Sementara mereka yang mengenal saya langsung, hanya sedikit yang bersedia menekan tombol “Like This!” tadi. Padahal, itu jelas tidak menyakiti dan tidak merugikan sama sekali. Karena itu saya mengapresiasi mereka yang mengenal saya di dunia nyata dan masih bersedia “acung jempol maya” kepada saya yang bukan siapa-siapa ini.
Di masa lalu, saya mungkin bukan orang yang disukai. Bahkan hingga sekarang pun mungkin begitu. Seperti pernah saya tuliskan, sekarang posisi saya dalam hidup adalah tidak memiliki teman. Tadinya, saya risau. Apalagi “membandingkan diri” dengan mantan pasangan hidup saya yang temannya “sak-hohah” dan dikagumi orang banyak hingga ia sendiri merasa diri hebat luar biasa. Saya? Nggak ada tai-tainya dibandingkan dia.
Tapi, seperti saya tuliskan kemarin, sekarang mindset saya dalam hidup sudah berubah. Saya makin merendah, tidak mau lagi meninggi seperti saya dulu (dan dia kini). Saya makin berusaha lebih banyak memberi.
Anda tahu apa hasilnya? Alhamdulillah, puji Tuhan, ketika saya makin merendahkan diri di hadapan manusia, ternyata Tuhan malah makin mengangkat derajat saya. Ketika saya memilih untuk makin banyak memberi dan berbagi pada sesama, ternyata Tuhan memberi lebih banyak lagi pada saya. Kini saya sadar, meski tetap perlu interaksi dengan sesama manusia, saya tak perlu lagi mengharapkan “Like This!” dari mereka yang kenal saya. Bahkan saya tak perlu pengakuan teman atau siapa pun atas apa yang saya lakukan. Saya cuma perlu “diberi jempol” oleh yang satu: Tuhan.