Hari ini, Presiden kita Jenderal TNI (Hon. Purn.) Susilo Bambang Yudhoyono berulang tahun. Beliau sendiri memandang tanggal kelahirannya sakral, karena penuh angka keberuntungan “9”. Beliau memang lahir di Pacitan, tanggal 9 September 1949. Ini sudah jadi “rahasia umum”. Sehingga beberapa orang dekatnya yang hendak menjilat dan melakukan tindakan “ABS” (Asal Bapak Senang) beberapa kali memanfaatkan “tanggal keramat”. Antara lain dengan membuat tabloid bernama “9949” (lihat kembali tulisan saya berjudul “Karikatur” yang diposting di blog ini tanggal 22 April 2008).
Sebenarnya, apa yang ditunjukkan SBY itu adalah gejala “waham kebesaran” atau dalam psikologi dikenal sebagai “grandiose delusion” atau “megalomania”. Bisa jadi itu ditambah ‘bumbu’ narcisstic dalam kadar agak banyak. Bagusnya, beliau memang mampu membuktikan kebesarannya. Beliau memang hebat, hampir selalu meraih prestasi dalam kehidupannya. Sejak sekolah hingga Akademi Militer, beliau selalu menunjukkan diri sebagai yang terhebat.
Saya bisa memahami SBY sebagai sesama anak tunggal dan juga sesama pengidap penyakit psikologis itu. Saya selalu merasa diri lebih hebat daripada orang lain, tapi semoga bukan dalam konteks ujub, riya atau sombong. Melainkan, dalam konteks selalu ingin memenangkan setiap hal yang saya terjuni dalam kehidupan. Hanya saja, saya tidak “seberuntung” SBY. Ini bukan cari alasan, karena faktor “luck” ternyata juga bermain. Dalam filsafat, ada istilah “dadu nasib” (dice of destiny), namun juga ada faktor “ikhtiar”. Artinya, nasib kita memang ujungnya ditentukan Tuhan, tapi manusia bisa menulis sejarahnya sendiri.
Contohnya begini, kalau saya bercita-cita jadi anggota TNI (dulu ABRI), maka saya harus mendaftar dan mengikuti seleksinya secara formal. Kita berusaha yang terbaik dengan ikhtiar yang kita mampu. Nah, nasib itu adalah lulus atau tidaknya kita. Kalau kita “pengen” tapi “nggak mau usaha“, apa mungkin itu tercapai? Bila kita mencoba dan gagal, setidaknya kita tahu “nasib” kita tidak di situ. Ada kemungkinan berhasil walau 1 % sekali pun. Tapi kalau kita tidak mencoba, dalam konteks contoh tadi misalnya tidak mendaftar dan mengikuti seleksi penerimaan taruna Akademi TNI (dulu AKABRI), apa mungkin sekonyong-konyong kita jadi taruna? Tidak mungkin! Faktor keberhasilannya jadi nol besar!
Nah, dalam beberapa hal di kehidupan, faktor “luck” saya ternyata masih belum menghampiri. Ada momentum yang terlewat, juga ada kesempatan yang tidak diambil, malah banyak yang karena ketololan saya sendiri sehingga salah dalam mengambil langkah. Maka, saya bisa bilang, bahwa selain memang dirinya mampu membuktikan kebesarannya, SBY juga dinaungi “dewi fortuna yang selalu ternyum kepadanya”. Seolah-olah beliau tak pernah salah langkah dalam kehidupannya.
Namun, kalau SBY merasa bahwa dirinya sudah diberkahi Tuhan sejak lahirnya, hingga “dipilihkan” tanggal istimewa ini, rasanya itu terlalu berlebihan. Coba deh, berapa banyak anak yang terlahir di tanggal itu? Berapa yang “jadi orang”? Jangan-jangan cuma SBY. Kalau mau iseng, coba data berapa anak yang lahir atau mereka yang menikah di tanggal yang juga keramat: 9-9-2009. Berapa dari mereka yang sukses dalam kehidupan? Artinya, faktor tanggal sama sekali tidak bermain di sini. Karena yang lebih berperan selain faktor “luck” terutama adalah ikhtiar. Itu lebih penting!
Maka, selamat ulang tahun Pak SBY. Semoga selalu menjadi inspirasi bagi siapa pun anak bangsa yang mau maju. Terlepas dari “tak ada gading yang tak retak”, namun jejak langkah SBY bagaimanapun telah tertoreh di sejarah negara ini.
Foto: presidenri.go.id