Kalau Anda pernah berkunjung atau melewati markas atau perumahan anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus), kemungkinan akan menemui semboyan ini. Saya tidak pernah ikut pelatihan apa pun atau punya kenalan dekat anggota pasukan elit Indonesia ini. Namun, secara sederhana, kita tahu bahwa semboyan ini sangat dalam maknanya. Beberapa buku tentang Kopassus yang ditulis dengan riset mendalam seperti tulisan Ken Conboy saya miliki dan tentu sudah saya baca. Tapi sebatas itu, tanpa sumber primer. Karena itu, bila “tafsir” saya salah atas semboyan ini, mohon diluruskan.
Sebagai pasukan komando yang mampu melakukan semua jenis pertempuran baik di darat, laut maupun udara, prajurit Kopasuss diindoktrinasi bahwa kepentingan negara adalah yang utama. Dalam melaksanakan tugas itu, mereka sangat menjaga kode etik guna menjaga kehormatan tadi. Kode kehormatan ini bisa diartikan sebagai tidak akan menggunakan cara-cara yang dianggap sebagai penodaan harga diri dalam mencapai tujuan. Menjadi yang terbaik tidak harus dengan menghalalkan segala cara, namun justru harus dengan integritas. Walau begitu, pantang bagi anggota Kopassus untuk gagal melaksanakan tugas. Sehingga ada semboyan lain “lebih baik pulang nyawa daripada gagal dalam tugas”.
Bagaimana mengintegrasikan dua hal yang sebenarnya secara intrinsik tampak bertentangan ini? Kalau kita berorientasi tujuan seperti semboyan kedua, tentu akan mengabaikan proses. Karena bila kehormatan dijaga, itu berarti cara-cara yang tidak patut tidak akan diambil. Misalnya menyuap tentara musuh agar berkhianat. Tapi, dalam perang, itu ternyata dibolehkan. Jadi, bagaimana dong?
Saya rasa -karena saya tidak punya buku pedoman asli Kopassus-, kode kehormatan itu adalah dalam kerangka menjaga kehormatan korps di kehidupan sehari-hari, bukan dalam perang. Artinya, seorang anggota Kopassus harus menjadi teladan bagi lingkungannya dengan selalu menjaga diri dari perbuatan yang dianggap tidak terhormat. Di sini, kita menjadi maklum istilah “tidak terhormat” itu adalah yang melanggar hukum dan norma. Bila dalam perang, perbuatan tidak terhormat itu bisa dmaknai pula menjadi tindakan-tindakan layak seperti tidak membunuh atau melukai non-combatant termasuk wanita dan anak-anak. Artinya, meski target tugas utama yaitu memenangkan perang harus dilakukan, namun tanpa melupakan bahwa seorang prajurit itu manusia yang juga memanusiakan sesamanya.
Nah, dalam kehidupan sehari-hari saya yang orang sipil, saya merasa kode kehormatan itu juga patut diteladani. Dalam rangka proses menuju keberhasilan tugas kehidupan, kita tidak selayaknya menghalalkan segala cara. Ada pagar yang harus dibuat. Ada rambu-rambu yang harus dipatuhi.
Apa sih tugas kehidupan? Tergantung dari sudut mana kita menjawabnya. Tapi bagi saya sederhana, tugas kehidupan adalah bertahan di dalamnya sampai selesai secara normal dipanggil oleh Tuhan, tanpa boleh menyerah pada segala tantangan. Makna semboyan “lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas” diberi arti yang lebih dalam pada semboyan “pantang pulang sebelum menang.” Hanya saja, kemenangan itu haruslah dicapai dengan terhormat. Kalau kita mau kaya misalnya, tidak boleh dengan korupsi atau dengan perbuatan kriminal lainnya. Kalau kita ingin memenangkan suatu pertempuran kehidupan, haruslah jantan face to face berhadapan, bukan dengan menyuruh preman atau pergi ke dukun santet.
Dan yang terpenting, kita tidak akan merendahkan harga diri begitu rupa demi mencapai tujuan itu. Misalnya saja sampai rela direndahkan derajatnya menjadi seperti pembantu rumah tangga oleh atasan kita, padahal pekerjaan kita sejatinya bukanlah office boy/girl. Saya tidak bilang pekerjaan OB/OG itu rendah, tapi direndahkan itu artinya job description kita tidak sesuai. Sebenarnya sama saja kalau kita bagian keuangan tapi kemudian disuruh mengurusi persediaan barang di gudang, itu juga merendahkan kehormatan.
Maka, demi kehormatan, beranilah mengambil langkah dalam kehidupan. Tolak dan lawan semua tindakan orang lain yang merendahkan Anda. Jangan mau diinjak-injak!
Foto: Sindonews.com