Qunut & Toleransi

islam great religionAkhir-akhir ini, kita seringkali menyaksikan –baik langsung maupun melalui pemberitaan media massa- aksi  kekerasan –baik fisik maupun kata-kata- oleh mereka yang mengaku paling hebat dalam beragama. Ormas seperti Front Pembela Islam misalnya, berkali-kali melakukan tindakan yang amat sangat meresahkan masyarakat. Dengan dalih menegakkan ajaran agama, perusakan berbagai tempat yang mereka anggap tempat maksiat seringkali dilakukan. Lucunya, dalam beberapa kali aksi mereka, sempat terekam oleh awak media bahwasanya ada orang-orang FPI yang justru tidak menjalankan syariat Islam dengan baik. Misalnya tertangkap tangan membawa botol air mineral di siang hari bulan puasa, atau tidak hafal surat Al-Fatihah yang seharusnya anak TK pun bisa, asal agamanya benar.

Bahkan, seorang yang terkategori tinggi jabatannya di ormas itu pun ternyata akhlaknya tidak Islami. Sebutlah seperti kejadian saat juru bicara FPI Munarman menyiramkan air teh kepada Profesor Tamrin Amal Tomagola saat sedang diadakan talkshow live di TV One pada hari Jum’at (28/6). Coba deh, tolong beritahu saya adakah teladan dari Nabi untuk bersikap seperti itu? Contoh yang ada malah sebaliknya. Gigi Nabi sampai patah saat dilempari orang-orang fasik Mekkah, dan Nabi malah menolak membalasnya. Bahkan beliau tetap menolak saat malaikat Jibril a.s. menawarinya membalikkan bukit Thur guna membalas.

Kita yang lebih waras dan berbudaya seharusnya bisa lebih keras dan berani melawan mereka. Untunglah masih ada beberapa organisasi massa Islam yang tidak seperti mereka. Sebutlah seperti GP Ansor yang dipimpin kawan lama saya Nusron Wahid. Misalnya dalam konteks penyelenggaraan Miss World, mereka meminta ormas Islam lain bersikap proporsional dan rasional.

Saya teringat pada catatan sejarah dimana di masa pra-kemerdekaan hingga Orde Lama, pertentangan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah juga keras. Namun, alasan para pengikutnya berselisih banyak terdapat pada masalah ritual ibadah. Sebutlah seperti NU yang memakai Qunut saat shalat Shubuh dan Muhammadiyah yang tidak.

Dari sini, sebenarnya ada contoh sangat bagus soal toleransi dan ora rumongso bener dewe (bahasa Jawa, artinya “tidak merasa benar sendiri”). Di suatu ketika, KH Idham Cholid yang saat itu Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) shalat shubuh bersama Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Yang jadi imam adalah KH Idham Cholid. Ternyata, beliau saat itu malah tidak berqunut, padahal tradisi NU justru sebaliknya. Saat ditanya oleh KH Idham Chalid usai shalat, beliau menjawab, “Saya tidak membaca doa qunut karena yang menjadi makmum adalah Pak HAMKA yang tokoh Muhammadiyah. Saya tak mau memaksa orang yang tak berqunut agar ikut berqunut.” Sebaliknya, beberapa hari kemudian HAMKA yang menjadi imam. Ternyata, beliau yang sehari-harinya tidak berqunut saat shalat Shubuh malah membaca do’a qunut versi panjang dengan fasih. Itu karena beliau tahu salah satu makmumnya adalah KH Idham Chalid yang biasa berqunut saat shalat Shubuh. KH Idham Chalid terkejut dan usai shalat bertanya mengapa HAMKA malah membaca qunut padahal ia tokoh Muhammadiyah, jawabannya pun serupa dengan jawaban KH Idham Chalid: “Saya tak mau memaksa orang lain mengikuti saya.”

Bukankah toleransi itu indah? Mengapa sekarang kita malah menghadapi ancaman kekerasan dari “preman berseragam” yang memaksakan penafsiran cara beragama mereka sendiri?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s