Saya adalah salah satu pimpinan gerakan mahasiswa 1998 di Universitas Indonesia. Nama saya tercatat sejarah, walau mungkin cuma di catatan kaki saja. Tidak seperti sobat saya Julianto Hendro Cahyono –mantan Ketua Senat Mahasiwa Universitas Trisakti 1997-1998- yang ada di halaman depan sejarah reformasi. Hingga kini, saya belum pernah makan uang dari birokrasi atau menjadi birokrat. Belum juga menjadi bagian dari penyelenggara negara termasuk legislatif. Dan insya Allah juga tidak akan menerima uang dari keluarga Cendana. Saya bahkan menjadi editor dari buku “Adili Soeharto”. Jadi, kadar “anti-Soeharto” saya cukup kental.
Namun, seiring bertambahnya usia dan kedewasaan, saya tahu bahwa saya harus proporsional dan adil dalam menilai. Seperti halnya saat saya menilai idola saya Soekarno, memposisikan diri sebagai “anak ideologis”-nya justru harus mampu memisahkan mana saat Soekarno patut “digugu dan ditiru” dan mana sebaliknya. Misalnya kesukaan Soekarno pada wanita hingga tercatat pernah memiliki istri 9 orang tentunya sangat tidak patut ditiru.
Karena itu, saya heran pada beberapa orang yang menentang penggantian nama jalan Medan Merdeka Timur menjadi jalan Soeharto. Salah satunya justru kawan lama saya yang kini jadi sejarawan terkenal, J.J. Rizal. Seperti dikutip Tempo.co, ia mengatakan, “Kita mau pakai nama orang itu kan berarti dia menjadi ikon, simbol, sesuatu yang bisa diteladani. Kalau Soeharto apa yang mau diteladani?”
Well, di sinilah tantangannya. Betul bahwa Soeharto otoriter, bahkan totaliter (merujuk pada teorema Hannah Arendt). Tapi, apakah benar tak ada yang patut diteladani?
Saya tak perlu menjawabnya. Pergilah ke Museum Purna Bhakti Pertiwi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Lihatlah bagaimana dunia menghargai Soeharto. Bila Anda punya kesempatan, cobalah pergi ke Bosnia-Herzegovina. Anda akan heran nama Soeharto harum di sana. Saat melakukan kunjungan kenegaraan ke negara itu saat masih berperang dengan Serbia di tahun 1992, Soeharto mencatat rekor sebagai satu-satunya pemimpin dunia yang menolak memakai rompi anti peluru di zona berbahaya. Ia juga menyumbangkan uang dalam jumlah besar saat negara-negara lain memilih menghindar. Bahkan ada “Masjid Soeharto” di sana. Deretan prestasinya juga banyak bagi bangsanya sendiri, yang tak akan cukup diuraikan dengan artikel 500 halaman sekali pun.
Sayangnya, ia kerap keblinger oleh kroni-kroninya, termasuk anak-anaknya sendiri. Secara hukum, tidak ada tuduhan korupsi kepada Soeharto yang terbukti. Masalahnya, di masa dia berkuasa, prinsipnya adalah l’état, c’est moi (bahasa Prancis: “negara adalah saya”, ungkapan khas Machiavelli). Maka, hukum pun dibuat sedemikian rupa agar mendukung tindakannya. Dan memang ia tidak demokratis, membungkam kebebasan pers dan sebagai dan seterusnya.
Tapi, sekali lagi, janganlah bilang tak ada yang patut diteladani dari anak petani asal desa Kemusuk ini. Karena sebagai presiden kedua Indonesia, ia mampu membuat negara ini disegani di dunia internasional. Terutama dari segi ekonomi meningkat drastis dibandingkan masa Orde Lama. Walau untuk ini pun kita bisa berdebat lagi soal caranya yang menggunakan hutang luar negeri dan “menjual negara” kepada asing. Tapi, itu tetap tidak meniadakan jasa-jasanya kan? Barangkali yang perlu dipertimbangkan pemerintah hanya soal “timing” dan urgensi saja. Apakah perlu penggantian nama jalan itu dilakukan sekarang?