Beberapa hari lalu, sekitar tanggal 18-21 Agustus 2013, kita sempat dihebohkan dengan pemberitaan adanya kewajiban tes keperawanan bagi calon siswi SMA. Berita ini tentu mengejutkan. Setelah ditelusuri, terjadi bantahan dari narasumber. Entah ini sekedar dalih dari narasumber, selip lidah (slip of tongue) atau malah penghakiman oleh pers (trial by the press), kasus aslinya ternyata tidaklah seheboh itu.
Alkisah (jadi seperti dongeng ya? Hehe), seorang Kepala Dinas Pendidikan di Kota Prabumulih-Sumatra Barat bernama H.M. Rasyid disebutkan mengajukan anggaran sebagai pendukung usulannya agar ada tes keperawanana bagi calon siswa (sic! seharusnya siswi ya?) SMA atau sederajat. Namun, kemudian yang bersangkutan membantah pernah mengatakan hal itu. menurutnya ucapan itu terlontar karena ada orangtua siswa yang mengusulkan. Hal itu menurutnya karena anaknya pernah terjaring razia perdagangan manusia (trafficking). Karena itulah sang anak kemudian dituduh (entah siapa yang menuduh-BMH) sudah tidak perawan lagi. Orangtuanya yang tidak terima menuntut agar dilakukan tes keperawanan. Rasyid justru mendukung rencana itu, konon agar tak terjadi fitnah.
Terus-terang, membaca pemberitaan di internet yang simpang-siur, saya kok malah cenderung pada kemungkinan ketiga. Bahwa mungkin ada unsur penghakiman oleh pers. Bisa jadi, jurnalis lapangan salah dengar sehingga salah kutip. Atau itu obrolan biasa ala warung kopi yang seharusnya tidak untuk dipublikasikan.
Coba simak kutipan dari portal berita Tempo.co berikut:
Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, H.M. Rasyid. Melalui situs nasional, ia mengatakan sedang mengajukan anggaran RAPBN 2014 untuk kebijakan tes keperawanan bagi calon siswa SMA sederajat.
Perhatikan kalimat yang saya beri warna merah ditebalkan (bold). Ini adalah pelanggaran etika jurnalistik karena menyebutkan sumber anonim tidak pada tempatnya. Pertanyaan berikutnya bisa diajukan selain “apa nama situs nasional itu?”, misalnya, “Apakah pernyataan itu yang konon dikatakan narasumber dituliskan sendiri oleh yang bersangkutan atau hasil tulisan jurnalis yang konon mengutip yang bersangkutan?” Kalau masalah ini sampai ke Dewan Pers, jurnalis bersangkutan akan ditanyakan mengenai kaset atau file rekamannya.
Tentu indikasi semacam di atas sangat dini untuk kemungkinan kesalahan kutip dilakukan oleh insan pers. Untuk dugaan tersebut, mereka yang merasa dirugikan nama baiknya harus mengadukan ke Dewan Pers. Karena kasus semacam ini bukan delik pidana, melainkan delik aduan. Dan yang pantas mengadukan justru H.M. Rasyid atau orangtua siswa yang disebutkan menginginkan tes keperawanan tadi. Bila diusut, maka bisa diketahui siapa sebenarnya jurnalis yang menulis berita itu pertama kali, dan media massa mana yang mempublikasikannya.
Menurut melekmedia.org (tautan berita di sini), berita tentang hal ini pertama kali ditampilkan tribunsumsel.com pada 18 Agustus 2013. Sehari kemudian, isyu kemudian diangkat secara nasional oleh tribunnews.com. Menjadi besar karena keduanya adalah bagian dari kelompok koran daerah milik Kelompok Kompas Gramedia. Bahkan kompas.com juga sempat memuatnya. Sebagai media besar, tentu jurnalistnya tidak sembarangan. Menurut melekmedia.org, polemik melebar karena editor ketiga media menggunakan kata yang berbeda substansinya sebagai judul beritanya.
Tapi bila persnya tidak salah kutip, berarti justru narasumber yang berbohong dengan berkelit. Rekaman wawancara bisa membuktikan itu dengan mudah. Tapi, sekali lagi, adakah yang dirugikan dalam hal ini?
Foto: melekmedia.org