Sebagai orang Indonesia, saya tahu bahwa sudah selayaknya kita memandang Soekarno semata sebagai Bapak Bangsa, tanpa mempedulikan bahwa ia beragama Islam. Namun sebenarnya, pemikiran-pemikiran Soekarno juga kental diwarnai oleh agamanya. Banyak tulisan dan pidatonya terinspirasi dari ajaran Islam, sehingga membentuk konsepsinya sendiri yang khas mengenai Islam. Unik karena secara kelas sosial di Indonesia –menurut pembagian Clifford Geertz- Soekarno sebenarnya “abangan-priyayi” dan bukan “santri”. Satu bukunya yang terkenal berjudul Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926) yang kelak menjadi semacam manifesto bagi paham Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) yang dianjurkannya dan sempat diterapkan di masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
Sepanjang yang saya tahu, meski membaca beberapa literatur Kristen dan berinteraksi pula dengan para pemuka agama Kristen –terutama saat ia dibuang ke Ende-, namun pemahaman Soekarno tentang Kristen minim. Ia hampir tak pernah merujuk ajaran Kristiani dalam tulisan maupun pidato lisannya. Kalau pun ada, ia hanya diketahui terinspirasi pada hal-hal umum yang praksis dan tidak terlalu religius seperti sosialisme Katholik.
Maka, saya cukup terkejut dan senang menemukan sebuah buku karya Pdt. Dr. Ayub Ranoh berjudul Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006). Buku ini ilmiah karena merupakan karya seorang doktor. Walau dalam kata pengantarnya tidak ditemukan keterangan buku ini merupakan karya ilmiah yang ditujukan untuk meraih gelar akademis, namun paparan di dalamnya menunjukkan konsistensi metodologis ilmiah yang bagus seperti standar skripsi, tesis atau disertasi.
Kharisma dalam pengertian bahasa Indonesia bisa disamakan dengan “pesona”. Sementara dalam pengertian umum Kristiani seperti diuraikan Ranoh (2006:112) kharisma berarti “pemberian, hadiah”. Walau dalam buku itu saya merasa penulis agak mencampur-adukkan keduanya. Karena kalau Soekarno yang Islam dipandang memiliki kharisma seperti dipahami oleh Paulus sebagai pemberian atau karunia dari Kristus atau Roh Kudus, tentu aneh. Apalagi dalam buku itu penulis menggunakan sudut pandang pemikiran Max Weber (1864-1919), seorang filsuf-sosiolog Jerman yang menyebutkan ada tiga tipe otoritas kepemimpinan dalam masyarakat, salah satunya adalah otoritas kharismatis.
Terlepas dari isi buku itu yang bisa didiskusikan lebih jauh, saya salut pada penulisnya yang berpikiran terbuka. Sebagai manusia, seorang penulis tak bisa dilepaskan dari berbagai hal yang “melekat” pada dirinya. Ini termasuk pendidikan, pengalaman hidup, keluarga, status sosial, dan sebagainya. Ini –meminjam istilah Gadamer- membentuk satu cakrawala berpikir tersendiri. Artinya, sebagai seorang pemeluk agama Kristen, apalagi ia juga seorang Pendeta dan Doktor, tentu pemahaman Kristiani melekat pada diri Ranoh. Namun, penulis mampu memberikan sintesa baru sebagai hasil olah pemikiran seorang yang mampu berpikir ilmiah dan akademis terlepas dari faktor-faktor pembentuk cakrawala tadi. Semoga makin banyak anak bangsa kita yang seperti ini sehingga kita bisa makin maju. Otak harus dikedepankan dibandingkan otot, terutama dalam soal agama.