Lebaran sudah lewat. Perjuangan di bulan Ramadhan memang hanya sebulan. Tapi justru perjuangan hidup mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk bisa digunakan mudik berlangsung setahun. Saya tidak bicara data-data makro, tentang trilyunan rupiah yang konon dibawa pemudik pulang ke kampung halaman. Juga dampak trickle down effect atau apalah yang membawa tetesan kue perekonomian dari Jakarta ke daerah. Mumet!
Saya cuma ingin menyoroti kehidupan dalam skala kecil. Setiap tahun, kita mengalami hal ini. Mudik dan Lebaran dengan segala kehebohannya. Tapi, tampaknya tak ada yang bisa kita ambil hikmahnya. Hidup berjalan begitu saja apa adanya. As is atau dalam bahasa Jerman das ding an sich.
Manusia cuma berjuang mengumpulkan lembaran demi lembaran uang. Susah-payah dikumpulkan setahun, untuk kemudian dihamburkan selama beberapa hari. Bahkan bagi yang non-Muslim pun merayakan Lebaran yang di Indonesia diwarnai libur panjang ini dengan caranya sendiri: berlibur. Hotel-hotel berbagai kelas hingga yang termahal sekali pun penuh, paket wisata ke berbagai tempat terutama ke luar negeri juga demikian.
Adakah terpikir untuk mengingat saudara-saudara kita di panti asuhan, panti jompo, di kolong jembatan atau di rel kereta? Mereka yang bahkan tak mampu membeli lebih dari sekedar nasi bungkus tanpa lauk. Sementara kita seringkali membuang-buang opor ayam karena tak termakan. Astaghfirullah al adhiim, naudzubillah min dzalik.
LifeLearner, karena musibah yang menimpa Ibu saya (bila berkenan silahkan baca kembali posting tanggal 1 Agustus 2013 lalu), kami sekeluarga tidak merayakan Lebaran tahun ini. Namun, kami justru merasa beruntung karena perhatian para tetangga begitu besar. Merekalah yang menyiapkan Lebaran bagi kami, dalam konteks menyuplai aneka makanan dan minuman. Sehingga, di rumah orangtua tetap tersedia aneka jajanan dan penganan. Memang, kami masih memesan catering untuk makanan utamanya, tapi terbatas.
Saya terus-terang sangat terpukul atas kejadian kecelakaan yang menimpa Ibu saya. Tapi itu membuat saya merenung, betapa selama ini saya merasa kurang banyak beribadah dan jelas tidak bersyukur. Omong-kosong gelar Magister Agama kalau ibadah seperti anak TK. Saya merasa goblok, bodoh, tolol dan hina sekali di hadapan Tuhan. Karena rumongso alim amalannya dan hebat ilmunya, padahal taik kucing. Saya juga merasa sangat tidak peduli pada sesama yang sangat membutuhkan uluran tangan. Walau Lebaran tahun ini bagi saya adalah yang paling kelabu dalam konteks duniawinya, tapi justru yang paling cemerlang dalam pemaknaan ukhrowi-nya. Insya ALLAH.