Akronim EGP alias “Emang Gue Pikirin” rasanya sudah tidak akrab di telinga anak gaul dekade2010-an. Karena ini adalah bahasa gaul dekade 1990-an. Mereka yang mengalami masa remaja (11-20 tahun) di dekade tersebut tentu masih ingat.
Bahasa gaul mengingatkan kita pada masa muda atau remaja. Masa di mana seolah segalanya masih mungkin terjadi dan kita bisa meraih apa pun dalam hidup. Masa di mana keindahan dan kenyamanan hidup seolah merupakan hal yang digaransi Tuhan untuk kita. Kecuali kita memiliki orangtua dan keluarga yang tajir –ini juga istilah khas generasi tersebut, artinya superkaya- tentu hal itu tidak benar. Bahkan pepatah “hemat pangkal kaya” juga ternyata tidak benar. Karena kebanyakan orang kaya justru boros. Mungkin pepatah itu perlu direvisi menjadi “hemat pangkal aman”, artinya kita punya tabungan itu aman di saat genting. Tapi kalau begitu nanti malah jadi rancu lagi dengan “aman” dalam konteks “keamanan” atau “security”, padahal yang dimaksud adalah “safe”.
Tapi saya melihat ancaman terhadap “rasa aman” dari segi keuangan di masa kini makin parah. Apalagi bagi generasi muda. Iklan konsumerisme dan gaya hidup mewah merebak di mana-mana. Saya cuma bisa membayangkan, sulitnya jadi remaja zaman sekarang bila kita tidak punya gadget misalnya. Bukan sulit dalam konteks “tidak bisa hidup tanpanya”, tapi karena sulit diterima oleh lingkungan sosial. Padahal, eksistensi penerimaan oleh peer group sangat penting bagi tahapan perkembangan manusia di usia tersebut. Orangtua jadi serba salah. Misalnya kita ingin anak kita sekolah di tempat yang bagus kualitasnya, sudah pasti juga secara ekonomi lebih tinggi biayanya. Mereka yang mampu bersekolah di tempat seperti itu sudah pasti “aman secara ekonomi”. Padahal, bagi saya pribadi, anak seusia SD belum perlu memegang Hand Phone sendiri, dan anak usia SMP belum perlu punya smartphone atau tablet. Karena faktanya kebutuhan mereka belum banyak. Tapi, andaikata aturan ini diberlakukan ketat oleh orangtua, anak akan menjadi “orang aneh” dan teralienasi dari teman-temannya.
Saat anak meminta sesuatu fasilitas kepada orangtuanya, hampir tidak mungkin orangtua menjawab dengan “EGP” bukan? Di sinilah kita sebagai orangtua harus cerdik karena sulitnya memberikan pemahaman mengenai fungsionalitas dan efek negatif sesuatu hal kepada remaja. Justru hal ini harus dibina sejak usia dini, dengan pendekatan humanis yang menganggap anak sosok yang perlu diajak berkomunikasi setara. Apabila ini terjadi, apa pun yang disampaikan orangtua niscaya didengar dan dipatuhi oleh anak. Sebut saya ngimpi, tapi saya mengenal keluarga yang mampu memberikan pengertian semacam ini kepada anak-anaknya. Sehingga tidak ada anaknya yang berusia SD-SMP memiliki gadget sendiri, padahal secara ekonomi mereka “sangat aman”. Merekalah keluarga ideal yang saya contoh: keluarga mentor dan guru pribadi saya.