Duh, judulnya serius ya? Tapi isinya nggak gitu-gitu amat kok. Tulisan ini terinspirasi dari artikel satu halaman penuh di harian Kompas edisi Jum’at, 28 Juni 2013 p.39. Judulnya “Menanti Generasi Baru”. Di artikel itu diulas bagaimana tampuk kepemimpinan nasional masih diisi generasi tua.
Saya sendiri mempertanyakan kriteria muda di sana, karena sepertinya penulis artikel menganggap di bawah 50 tahun itu masih muda. Bisa jadi. Karena di negeri ini para pengurus organisasi kepemudaan terutama di tingkat nasional justru sudah berusia tua. Kepala 3 atau 4. Artinya, di bawah 50 dong…
Terlepas dari soal usia, ada faktor generasi di sini. Saya sih cenderung mengelompokkan dalam dekade di mana seseorang berusia remaja (11-20 tahun). Kalau melihat ini, saya yang lahir tahun 1970-an misalnya, adalah pemuda generasi 1990-an. Jadi, saya kini sudah bukan remaja lagi. Tapi ini bisa diperlebar karena pemuda bisa jadi adalah yang berusia hingga 40 tahun. Tapi, bagi saya janggal rasanya mengklaim diri masih pemuda, karena secara tahapan perkembangan psikologis usia ini sudah dewasa. Dewasa muda saja paling sampai umur 30 tahun, walau justru banyaknya dianggap 18-25 tahun.
Nah, melihat itu, sebenarnya agak menyedihkan melihat kondisi mereka yang tampil di pentas nasional. Beberapa kandidat potensial seperti Anas Urbaningrum yang sangat kompeten malah gugur karena masalah hukum, ia terlibat korupsi. Ia melakukan korupsi dalam upaya memenuhi prasyarat lainnya: ekonomi. Di sinilah faktor utamanya. Kompetensi dan integritas saja tidak cukup, tapi seorang yang hendak tampil di pentas nasional harus punya “gizi”. Ini berarti kondisi ekonomi yang memadai.
Menyebut angka, dengan biaya hidup saat ini, bila ia masih belum berkeluarga setidaknya punya dana menganggur sekitar 250 jutaan. Sementara bagi yang sudah berkeluarga tergantung besarnya tanggungan di belakangnya, mulai dari Rp 500 juta sampai tak terhingga.
Semua ini sangat menghambat regenerasi kepemimpinan nasional. Saya ambil diri saya sendiri sebagai contoh. Secara kompetensi dan integritas, saya merasa mampu menjadi anggota parlemen. Tapi setelah menghitung biayanya (lihat kembali tulisan saya berjudul Modal Anggota Parlemen), saya mengerem niat itu. Kenapa? Karena pengalaman menunjukkan, saat nama tercantum di DCS dan DCT, serta-merta permintaan sumbangan mengalir. Dan itu seringkali bukan untuk pemenangan kita, tapi sekedar dari orang-orang yang ngobyek saja. Belum lagi adanya “aturan main khusus” dari partai politik dalam soal penentuan nomor urut dan pemilhan Dapil.
Sekarang, adakah orang atau lembaga yang mau membantu orang-orang seperti saya? Mungkin ada, tapi justru harus dicari. Ini bahkan tidak seperti lembaga pemberi bantuan dana bagi wirausaha yang kini bertebaran dan terbuka, informasi soal lembaga donor politik lebih tertutup. Seorang senior saya Mas Andreas Harsono –Direktur Yayasan Pantau- malah menginformasikan, orang dengan profil seperti saya mustahil didukung dana oleh lembaga donor asing. Sebabnya? Saya dianggap bukan berasal dari kaum marjinal. Padahal, jelas saya merasa perlu bantuan.
Solusinya? Kalau memang mau serius, ya sayanya yang harus bergerilya. Ini saya pelajari dari beberapa rekan-rekan saya yang hendak maju jadi politikus. Padahal, cara “minta-minta” seperti ini sangat tidak mendewasakan dan tidak bagus, karena akan membawa pada “politik balas budi”. Jadi, bagaimana mau regenerasi kepemimpinan nasional kalau yang mampu tampil mayoritas hanya dari kalangan “priayi” yang berekonomi kuat?