Kalau Anda pernah tahu pewayangan, pasti tahu tokoh yang namanya Gatotkaca. Dia adalah putra dari salah seorang Pandawa Lima, yaitu Bima atau Werkudara dengan Arimbi. Ia anak tertua dengan dua adik yaitu Antareja dan Antasena. Kebanyakan anak yang mengenal tradisi pewayangan akan mengidolakan Gatotkaca, karena karakternya mirip Superman, tokoh fiksi keluaran DC Comics di Amerika Serikat.
Ia tidak hanya bisa terbang, tapi juga kebal senjata. Walau secara “kesaktian” Superman lebih lengkap, tapi cukuplah bagi anak-anak untuk menjadikannya idola. Secara fisik, “Mas Gatot” juga ganteng, walau tentu dengan tipologi khas Jawa: dengan kumis melintang. Karena ia “jagoan”, maka tentu tubuhnya perfect seperti dewa Yunani yang lebih keren dari body builder.
Asal-usul tubuh keren ini beda dengan Superman. Kalau jagoan barat ini begitu berotot karena ia adalah alien, makhluk dari planet Krypton. (Walau saya heran apa hubungannya status itu dengan tubuh berotot, apa semua orang Krypton berotot?). Nah, kalau Gatotkaca meski orang Bumi, tapi kehebatannya itu karena berkat para dewa dan dewi. Di masa ia masih bayi, atas titah Batara Guru sebagai Raja Kahyangan, ia diperintahkan diceburkan ke Kawah Chandradimuka. Di kawah ini, sang bayi digodok dalam arti harfiah, dimana para dewa dan dewi memberkatinya dengan menceburkan segala jenis senjata yang kemudian dileburkan oleh panasnya magma di kawah dan melebur ke tubuh sang bayi. Dari situlah ia kemudian memperoleh kesaktiannya. Setelah beberapa saat, sang bayi muncul kembali dan ma’ bedundug sudah jadi lelaki dewasa yang full kesaktian: otot kawat balung wesi.
Proses ini kemudian dijadikan filosofi proses pelatihan dan pendadaran. Akademi Militer misalnya, sudah sejak awal berdiri mengadopsi istilah “Kawah Chandradimuka” bagi dirinya sendiri. Mereka menganggap di situlah para calon pemimpin bangsa dari unsur militer digodok, kalau ini tentu dalam arti kiasan. (Kalau digodok alias direbus betulan, ya mati dong… hehehe).
Dalam hidup, seringkali kita harus menyadari bahwa Tuhan memasukkan kita ke “Kawah Chandradimuka” tanpa kita mendaftar atau di luar keinginan kita. Ada ujian yang mendadak dialami, bak ulangan mendadak yang diberikan guru. Namun, seberat apa pun penderitaan di dalam “Kawah Chandradimuka”, kita harus mampu meresapinya bahwa itu adalah sarana menjadikan diri kita sebagai “manusia super”. Manusia yang tahan banting, berotot kawat bertulang besi, dalam menghadapi berbagai problematika kehidupan.