Malam ini adalah tanggal 17 Ramadhan. Di Indonesia, diperingati sebagai Hari Nuzulul Qur’an. Terus-terang saya dari kecil bingung dengan peringatan ini. Karena kata tersebut artinya “Turunnya Al-Qur’an”. Padahal, semua Muslim diberitahu bahwa turunnya Al-Qur’an adalah pada malam “Lailatul Qadr”. Kepastian tanggalnya tak ada yang tahu, karena hadits hanya menyebutkan agar “berjaga” di malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadhan.
Akhirnya ada semacam “kompromi”. Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya Al-Qur’an dari Lauhul Mahfudz ke langit dunia secara sekaligus, sementara Lailatul Qadr adalah awal mula Qur’an diturunkan dari langit dunia dengan perantaraan malaikat Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad SAW secara bertahap. Umat Islam tahu, Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari sesuai konteksnya. Sehingga dikenal adanya asbabun nuzul, setiap ayat jelas dicatat kapan diwahyukan kepada Nabi dan dalam peristiwa apa sebagai penyebabnya.
Terlepas dari kurangnya dalil pendukung memadai tentang peringatan Nuzulul Qur’an, peristiwa agamis yang seharusnya historis ini tetap harus dimaknai mendalam. Bagi umat Islam, turunnya Al-Qur’an sebagai kalam ALLAH SWT Sang Tuhan Sejati punya makna sama pentingnya dengan umat Nasrani yang memperingati kelahiran Yesus sang Messias yang dianggap sebagai logos Tuhan Allah Bapa. Bila Al-Qur’an kemudian menjadi mukjizat terbesar utusan Tuhan terakhir yang membawanya, sang manusia paripurna Rasulullah Muhammad SAW, pendahulunya Yesus di kemudian hari malah ditahbiskan oleh pengikutnya sebagai Anak Tuhan itu sendiri. Ucapan dan tindakan Yesus dicatat oleh beberapa muridnya yang di kemudian hari dikumpulkan dan dikenal sebagai Injil Kanonik, sementara ucapan dan tindakan Rasulullah Muhammad SAW juga dicatat oleh para sahabatnya yang kemudian dikumpulkan dan dirilis sebagai Hadits.
Sementara, dalam kajian agama-agama dunia, Al-Qur’an dikenal sebagai kitab suci agama par excellence, paling sempurna. Karena selama 14 abad, tidak ada perubahan satu huruf pun sejak diturunkan Tuhan kepada Nabi-Nya. Dan tidak ada perbedaan satu titik pun dari kitab yang dipakai oleh Muslim sedunia. Al-Qur’an yang dibaca Sunni dan Syi’ah sama, bahkan juga kelompok lain yang dianggap agak menyempal seperti Ahmadiyah Qadiyan. Sementara Bible-nya umat Nasrani tercatat berkali-kali mengalami perubahan dan revisi, bahkan ada beberapa versi yang berbeda dipakai oleh denominasi yang berbeda pula.
Tidak ada yang tahu pasti kapan Bible dituliskan. Bahkan nama empat murid Yesus yang dinisbahkan sebagai penulisnya pun diragukan. Sementara untuk Al-Qur’an, para sahabat Nabi mencatat dengan jelas kapan setiap wahyu turun, sehingga terekam dengan baik dalam sejarah.
Umat Islam meyakini, wahyu Tuhan dalam Al-Qur’an akan terus terpelihara hingga menjelang hari kiamat dimana kitab suci ini akan ‘diangkat’ dari peradaban. Salah satu jalan pemeliharaan itu adalah keajaiban dimana Al-Qur’an dihafal oleh ribuan bahkan mungkin jutaan hafidz. Sehingga apabila ada perubahan atau kesalahan dalam cetakan Al-Qur’an di mana pun di pelosok dunia akan segera diketahui. Sementara, tidak ada satu pun orang di dunia yang bisa hafal Bible. Juga tidak ada umat beragama lain yang mampu menghafal kitab sucinya masing-masing. Ini merupakan satu petunjuk amat jelas dari Tuhan, bahwasanya manusia bahkan tidak mampu menghafal buku tipis buatan manusia, tapi Al-Qur’an yang tebal mampu dihafalkan karena ia murni dan asli wahyu Tuhan.
Maka, peristiwa Nuzulul Qur’an harus dimaknai sebagai cara Tuhan berkomunikasi dengan manusia, dimana Ia memang ingin menunjukkan kekuasaan-Nya dan memperkenalkan diri. Ini sebagaimana difirmankan-Nya dalam hadits Qudsi: “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Ku-ciptakan makhluk, maka mereka mengenal Aku melalui diri-Ku.“