Uang

Siapa sih yang tidak butuh uang? Semua butuh, cuma kadarnya saja yang berbeda. Para rohaniwan, aktivis sosial-kemasyarakatan atau profesi “nrimo” seperti abdi dalem pastinya tingkat kebutuhannya terhadap uang tidak sebesar masyarakat urban. Kebutuhan hidup primer (pangan, sandang, papan) sebenarnya tidak terlalu mahal  tapi justru sekunder seperti pendidikan dan kesehatan makin mahal. Tapi ironisnya, kebutuhan tersier atau luks itu yang termahal. Coba saja, berapa harga gadget yang Anda miliki? Konversikan menjadi nasi, bisa berapa piring?

Meski uang menjadi prioritas puncak dari kehidupan manusia saat ini, namun tidak semua orang mau mengakui kebutuhan ini. Banyak sekali gengsi  yang menutupi dengan dalih harga diri. Saya sendiri juga begitu. Rasanya malu saat ke ATM dan uang yang terpampang di sisa saldo kita cuma recehan. Betul kan?

Dan lebih malu lagi saat kita harus meminjam uang pada orang lain. Rasanya harga diri kita jatuuuuuuh banget. Padahal, sebenarnya kalau mau diubah paradigmanya, kita justru sedang “menawarkan surga”. Bagi Muslim, ada hadits Nabi yang menyatakan bahwa menolong orang kesulitan dengan meminjaminya uang atau barang jauh lebih tinggi pahalanya daripada bersedekah. Kenapa begitu? Karena orang yang minta tolong atau pinjaman sudah pasti “butuh banget” dan berdasarkan kepentingannya. Sementara sedekah adalah berdasarkan keinginan kita belaka.

Sayangnya, terlepas dari pentingnya uang, banyak dari orang kita yang kurang menghargai arti uang. Seperti tukang yang saya pekerjakan, dia senang sekali merokok mahal dan menelepon berjam-jam. Padahal, dia mendapatkan uang dengan bekerja keras. Seorang kolega saya juga begitu. Dia memang anak orang kaya, tapi sebenarnya dia sendiri tidak kaya. Tapi, gayanya masih bak orang kaya. Caranya membeli gadget misalnya, seperti kurang menghargai prioritas. Padahal, anak-anaknya butuh pendidikan lebih baik.
Seorang teman dekat lain lagi ceritanya. Saya tahu dia jobless, tapi saat saya tawari pekerjaan dia “malu-malu mau”. Saya jadi bingung karena butuh orang yang bisa saya andalkan. Sementara dia bilang “ya” tidak, tapi juga tidak tegas bilang “tidak”. Ujungnya dia bilang sudah mengerjakan hal lain saat hari ini saya minta masuk.

Seyogyanya kita bersikap proporsional kepada uang. Kita memang butuh untuk menyambung hidup. Tapi tak perlu mendewakannya sampai-sampai meninggalkan hak berharga lain seperti keluarga.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s