Kita seringkali tidak tahu berapa sebenarnya harga yang pantas untuk diri kita. Sebenarnya, setiap kita ini “menjual diri”. Bukan dalam konteks prostitusi tentunya, karena bila kita bekerja atau mencari nafkah, sebenarnya kita sedang menjual kemampuan kita yang dibutuhkan orang lain. Bahkan bila kita jadi pengusaha, orang mau membeli apa yang kita tawarkan itu sebenarnya sama dengan “jual diri”. Walau kalau jadi pengusaha bisa tidak langsung karena ada pegawai yang berhadapan langsung dengan para pembeli.
Manusia sebenarnya mencari uang selalu dengan cara menjual sesuatu. Dan itu adalah diri dengan berbagai arti. Kita berjualan batik, maka kita tidak hanya menjual batik tapi juga pelayanan dan kenyamanan orang berbelanja dari kita. Saya sampai sekarang yakin tidak ada orang di dunia yang tidak menjual sesuatu. Bahkan orang yang tidak bekerja sekali pun masih perlu makan, minum dan kebutuhan lain. Ia pasti menjual sesuatu untuk mendapatkan kebutuhannya. Misalnya ia menjual deritanya hingga orang lain merasa iba dan memberikannya bantuan.
Bagi yang bekerja, kita menerima gaji di akhir bulan atau setelah usai melakukan pekerjaan. Karena diakumulasi di ujung, kita seringkali tidak sadar bahwa itu merupakan cara orang lain menilai harga kita. Kalau Anda menerima gaji sesuai UMR DKI Jakarta yang baru misalnya, dalam sebulan yang 30 hari itu berarti Anda menerima Rp 73.333-an dalam sehari. Seringkali kita lantas santai menghabiskannya misalnya untuk menonton film di bioskop bersama keluarga. Katakanlah ada 2 orang anak, maka akan habis 200 ribu-an di akhir pekan. Itu berarti nyaris 3 hari kerja habis cuma dalam 3 jam saja.
Di luar negeri terutama di negara maju, gaji pegawai dihitung per jam. Jadi, kalau dalam 8 jam kerja dengan gaji tadi, maka harga kita Rp 9.166-an saja. Taruhlah Rp 10.000,- per jam agar mudah. Ini kira-kira setara dengan US$ 1. Di A.S., upah sebesar ini adalah untuk pekerja kasar sektor informal yang tidak terdidik. Tapi di negara kita, banyak sarjana yang bahkan gajinya lebih rendah daripada ini. Ironis ya?
Saya sudah lama menyadari ini. Walau kesannya jadi banyak waktu luang karena tidak bekerja formal, menjadi usahawan itu membuat harga kita naik. Sekali terima uang yang sama (Rp 2,2 juta) dalam sebulan yang cuma bekerja dua hari seminggu misalnya (2 hari X 4 minggu), akan membuat harga kita menjadi Rp 275.000/hari atau Rp 34.375/jam (untuk 8 jam kerja). Naik tiga kali lipat dengan usaha 26 %-nya. Menyenangkan bukan? Sisa waktu bisa kita gunakan untuk mengembangkan diri, untuk kenyamanan hidup atau untuk keluarga tercinta.
Tapi itu hitungan di atas kertas. Nyatanya, kalau kita berusaha sendiri uang yang diterima tiap bulan tidak tetap. Dan resiko inilah yang seringkali membuat usahawan pemula di start-up business lantas “banting harga”. Bagi saya, realistis saja, intinya adalah harga kita per jam yang layak bagi kita sendiri. Cari dengan cara apa pun. Tidak perlu gengsi asal halal. Oke?