Perjalanan Dinas

Saya tidak pernah bekerja di sebuah perusahaan yang begitu besarnya hingga memiliki banyak cabang. Sehingga saya perlu melakukan perjalanan dinas. Namun, sebagai aktivis, saya pernah beberapa kali dikirim ke luar kota untuk melakukan sejumlah tugas termasuk mengikuti pertemuan tingkat nasional. Hanya saja, sebagai mahasiswa fasilitasnya tentu tidak sehebat pegawai. Misalnya waktu saya mengikuti Pelatihan Pengelola Penerbitan Mahasiswa Nasional tingkat Pembina yang diadakan oleh Dèpdikbud di Universitas Muhammadiyah Mataram-Nusa Tenggara Barat, saya cuma diberi tiket bus saja. Bahkan untuk makan-minum di perjalanan tidak ada sama sekali. Makanya, saya tidak begitu beruntung mendapatkan kesempatan “jalan-jalan dibayarin” seperti itu.

Di Indonesia, pos perjalanan dinas selalu memakan biaya besar. Apalagi di instansi pemerintahan atau lembaga negara. Musababnya, semua aspek ditanggung institusi pengirim, sehingga personil yang melakukannya “tinggal bawa badan” saja. Aspek itu termasuk transportasi yang biasanya pesawat, akomodasi minimal setara hotel bintang empat atau yang tertinggi di lokasi tujuan, dan tentu saja konsumsi makan-minum lengkap. Itu pun masih ditambah “uang saku” yang seringkali jumlahnya tidak sedikit. Ada banyak istilah untuk hal ini termasuk yang terdengar keren karena diambil dari bahasa Latin: per diem.

Kita semua tahu dari pemberitaan media massa bahwa perjalanan dinas ini seringkali tidak diperiksa dengan baik dan menjadi celah korupsi. Misalnya saja perjalanan yang seharusnya lima hari pada kenyataannya cuma tiga hari, atau kelas hotel dan pesawat yang diturunkan. Tapi, biaya yang tercantum dalam anggaran tetap dikeluarkan. Ke mana selisihnya? Dibagi antara pihak yang berwenang mengeluarkan dana dan pihak yang melakukan perjalanan dinas.

Sebenarnya, kalau ditilik lebih seksama, sebagian besar perjalanan dinas itu tidak efektif. Karena tanpa itu pun tugas yang dibebankan tetap bisa terlaksana. Sebutlah seperti kunjungan kerja atau studi banding anggota DPR. Beberapa kali yang mereka lakukan sebenarnya cuma “wisata terselubung”. Lagipula, di era teknologi informasi seperti ini, bukankah komunikasi malah bisa lebih efisien?

Sudah seharusnya kita berpikir praktis dan fungsional. Apalagi bagi perjalanan dinas yang memakai uang rakyat yang dianggarkan dalam APBN, APBD maupun pos lainnya. Karena sebenarnya perjalanan dinas yang baik selain yang “do something” yang tidak bisa tidak harus dilakukan di lokasi, juga yang “got something” dalam konteks memberikan hasil nyata.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s