Saya tersenyum sinis saat membaca kalimat berikut di halaman pertama harian Koran Sindo hari ini:
Peluk, cium, dan tangis pun langsung pecah di ruangan tersebut. “Sabar Pak, sabar ya Pak,” ujar salah seorang kerabat sambil memeluk Zulkarnaen.
Petikan di atas adalah bagian dari kepala berita berjudul “Koruptor Al-Qur’an Divonis 15 Tahun”. Zulkarnaen yang disebut di situ adalah Zulkarnaen Djabar, anggota non-aktif Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar. Ia divonis 15 tahun penjara, sementara anak kandungnya Dendy Prasetya divonis 8 tahun penjara. Selain itu mereka berdua juga dikenakan denda masing-masing Rp 300 juta subsider satu bulan kurungan penjara. Keduanya juga harus mengganti uang negara yang dikorupsi masing-masing sebesar Rp 5,740 milyar, sehingga total Rp 11,48 milyar.
Terus-terang, di sini posisi saya “sok suci”. Saya heran sekali pada bapak dan anak itu, yang bekerjasama erat mencari rezeki. Sayangnya, rezekinya haram. Nah, apa yang hendak saya ulas itu adalah kalimat penenang seorang kerabat tadi: “sabar”.
Betulkah kedua orang pesakitan tadi sebaiknya “bersabar”? Bukannya kejadian yang menimpa mereka itu bukanlah cobaan, melainkan azab? Sementara sabar itu adalah sikap yang harus diambil orang beriman yang mendapatkan cobaan.
Saya yakin hati kecil kita –biasa disebut nurani- bisa dengan mudah membedakan. Cobaan atau musibah itu di luar kehendak kita. Misalnya bencana alam atau kecelakaan. Sementara azab jelas proses berkesinambungan sebagai bagian dari sebab-akibat suatu tindakan salah di masa lalu. Misalnya saja saya ambil contoh seorang kerabat saya yang perokok berat, saat tuanya kemudian menderita berbagai penyakit antara lain kebutaan. Itu baru tindakan fisik biasa sehari-hari, belum lagi tindakan moral apalagi terkait hukum yang luar biasa.
Di dalam Islam, kesabaran adalah akhlak yang utama. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat lebih dari 70 kali penyebutan dan anjuran menerapkan sabar. Salah satunya adalah di surat Al-Baqarah (2) ayat 177:
“Dan orang-orang yang sabar dalam musibah, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar imannya. Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dari ayat tersebut, kita tahu bahwa sabar hanya untuk musibah, derita dan dalam situasi terzalimi seperti peperangan. Pertanyaannya sederhana: apakah dua terdakwa kasus korup,si tersebut memenuhi salah satu kriteria di atas? Bisa jadi akan ada jawaban dari pihak mereka, karena dalam konferensi pers setelah vonis keduanya merasa dizalimi.
Nah, ini ada satu lagi istilah agama Islam. Zalim itu berarti mengambil hak orang lain. Hak terdakwa yang mana ya yang diambil oleh majelis hakim? Kalau mereka merasa dikorbankan mungkin bisa saja. Tapi itu dalam perspektif: “Kok cuma kami yang kena hukum? Lalu si anu dan si itu bagaimana?” Tak heran pula dalam konferensi pers Zulkarnaen selaku terdakwa I mengancam akan “membongkar semuanya”. Rupanya ia tak rela dihukum sendirian. Ini persis seperti perilaku setan di akherat kelak. Karena ia akan menyeret semua orang yang mengikuti bujukannya. Sejak awal dunia diciptakan memang raja setan yaitu iblis telah meminta penangguhan waktu kepada Tuhan agar bisa membawa teman ke neraka.
Ada satu pertanyaan lagi: apakah mereka tidak merasa kalau umat Islam dan rakyat negara ini terzalimi karena tindakan mereka mencari rezeki haram tadi? Bukankah wajar kalau hukum kemudian memutuskan agar keduanya mempertanggungjawabkan perbuatan maksiatnya?
Jadi? Anda tahu kan kenapa saya tersenyum sinis dengan posisi “sok suci” tadi? Sabar? Nyang Benong…
Sumber grafis ilustrasi: Harian Republika, 31 Mei 2013, p. 1.