Rupiah & Dollar

Di tahun 1998, saat menuliskan kata pengantar untuk buku katalog pameran foto “Saksi Seputar Aksi ’98” yang diselenggarakan oleh Harian Bergerak! UI yang saya pimpin, saya menyebutkan bahwa awal kehancuran perekonomian Indonesia adalah dilepasnya nilai tukar rupiah terhadap dollar A.S. Waktu itu, pemerintah Orde Baru yang sejak awal rezim berkuasa mematok nilai tukar tetap mengubahnya menjadi nilai tukar mengambang. Sehingga, nilai tukar rupiah terhadap dollar berfluktuasi tergantung pasar. Pemerintah akhirnya menyerah pada tekanan kapitalisme pasar bebas. Dan sejak itulah kita makin parah terbenam dalam krismon alias krisis moneter.

Karena saya bukan ekonom dan tak punya latar belakang ekonomi, maka saya tak bisa membawa pemikiran itu ke kancah lebih tinggi lagi. Mungkin karena saya sekali lagi tak berkecimpung di bidang ekonomi, saya tak melihat ada tulisan yang memiliki argumen serupa. Jadi, faktornya di saya yang tidak melihat, bukan tulisannya yang tidak ada. Mungkin ada, tapi saya yang terlewat tidak mencermatinya.

Baru hari inilah di harian Koran Sindo saya membaca tulisan dari ahli yang senada dengan pendapat saya yang awam. Adalah Dr. Ichsanuddin Noorsy dalam tulisannya di kolom opini halaman 7 yang menuliskannya. Tulisan berjudul “Mimpi Mengurangi Dominasi Asing di Perbankan” itu antara lain menyebutkan di paragraf kedua:

Kita mulai dengan peristiwa dilepasnya nilai tukar rupiah mengambang bebas (free floating exchange rate) pada 14 Agustus 1997. Kebijakan ini diambil oleh Dewan Moneter yang waktu itu dikendalikan oleh Mar’ie Muhammad (Menkeu) dan J. Soedradjad Djiwandono (Gubernur BI). Dampaknya rupiah terpuruk.

Kalau kita sekedar ngeh pada berita ekonomi, akhir-akhir ini rupiah melemah terus. Bahkan sejak pemerintah menerapkan kebijakan baru menggunakan kurs referensi Bank Indonesia. Kurs referensi BI yang disebut JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) itu diharapkan jadi patokan dalam bertransaksi valuta asing. Namun, faktanya sejak diperkenalkan pada 20 Mei 2013 lalu, rupiah malah melemah 50 poin. Kini rupiah sudah menembus level tukar Rp 9.800,- per dollar A.S. Padahal nilai yang diharapkan dalam APBN-P adalah Rp 9.600,-.

Terus terang saya sebenarnya tidak peduli pada berita semacam itu kalau saja tak ada efeknya. Karena sehari-hari saya memang tidak menggunakan dollar A.S. Tapi efeknya bila rupiah terus melemah jelas: kenaikan harga. Lucunya, ada analisa kalau pemerintah secara tegas segera menaikkan harga BBM, niscaya rupiah akan menguat. Mungkin itu benar. Tapi itu dari sisi makro. Orang yang bicara begitu mungkin sudah tidak sensitif harga. Ia tak peduli kalau harga cabe merah keriting di pasar tradisional naik Rp 50,- per kilogramnya gara-gara kenaikan harga BBM.

Itulah yang saya sesalkan dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Selalu indikator makro di atas kertas yang diributkan dan bukannya parameter riil yang hidup di masyarakat. Sebenarnya tak ada yang peduli bahkan kalau 1 US$ = Rp 17.000,- seperti zaman Habibie. Asalkan satu liter minyak tanah (kerosene) tersedia dan harganya cuma Rp 450,- seperti terakhir kali di masa Orde Baru berkuasa, tentu sebelum krismon. Anda setuju kan?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s