Pagi tadi, saya menghadiri undangan peluncuran rangkaian acara “Pekan 15 tahun Reformasi: Menata 15 tahun Reformasi jilid 2”. Ada serangkaian acara yang merupakan kerjasama 20 lembaga, baik kampus maupun LSM. Saat diberi kesempatan berkomentar dan bertanya dalam talkshow, saya sempat memberi selamat. Kenapa? Karena ini bukti kepedulian elemen masyarakat sipil terhadap reformasi. Kondisi ini berbeda dengan saat saya menggagas Sewindu Gerakan Reformasi (SGR) tahun 2006 di Universitas Indonesia. Saat itu, saya sangat kesulitan dan tidak mendapatkan dukungan memadai terutama dalam hal pendanaan. Sehingga terpaksa merogoh kocek sendiri. Padahal, saat itu kami berhasil menghadirkan sejumlah tokoh penting terutama para eks pejabat era Orde Baru. Sebutlah seperti mantan Panglima ABRI/Menko Polkam Jenderal TNI Wiranto, mantan Menteri Perumahan Rakyat Ir. Akbar Tandjung, dan mantan Menteri Keuangan Dr. Fuad Bawazier.
Setelah sekedar seremoni dan press conference, dilanjutkan dengan talkshow. Sebagai pembicara adalah Anies Baswedan, Dinna Wisnu, Pandji Pragiwaksono dan Santo Darmosumarto. Dan sesuai dengan keahlian mereka, topik yang lebih ditekankan adalah peran masyarakat sipil dan posisi Indonesia di dunia internasional.
Menjawab pertanyaan saya, Anies mengatakan bahwa memang saat ini masyarakat sipil mengalami kegamangan. Meski GNP Indonesia naik menjadi lebih dari US$ 3,000, namun itu baru “middle income class” dan belum menjadi “middle class”. Namun, kreativitas generasi saat ini akan menemukan jalannya sendiri. Anies mencontohkan gerakan “Indonesia Mengajar” yang digagasnya atau “Akademi Berbagi”. Gerakan ini insiatif dari elemen masyarakat tanpa dukungan pemerintah pada awalnya. Dan di sinilah peran masyarakat sipil mengemuka. Rektor Universitas Paramadina ini mengajak kita semua anak bangsa untuk meningkatkan “rasa kepemilikan atas masalah”. Artinya, apabila melihat Indonesia menghadapi problema, turun tanganlah sendiri secara langsung untuk mengatasinya. Jangan menunggu dan malah memanggil orang lain untuk mengatasinya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Pandji Pragiwaksono. Selebritis yang secara jujur mengaku “bukan aktivis” saat masih mahasiswa di tahun 1998 ini mengajak kita masing-masing untuk “berbuat sesuatu” untuk Indonesia. Ia mencontohkan dirinya sendiri yang berkecimpung di dunia hiburan tapi berusaha peduli pada bangsa ini. Dengan perannya, ia mencoba mengajak penonton dan penggemarnya untuk mencintai Indonesia. Pandji mengatakan agar kita jangan “bermental majikan”. Serupa dengan Anies, Pandji mengajak siapa pun untuk menyelesaikan masalah bersama dengan dimulai dari sendiri dan tidak menunggu apalagi menyuruh orang lain menyelesaikannya.
Sementara Dinna Wisnu yang pakar hubungan internasional dan diplomasi mengajak agar masyarakat tidak mengedepankan power dalam memajukan bangsa. Tidak perlu menunggu atau berusaha meraih power atau kekuasaan untuk berkontribusi bagi bangsa. Apalagi kalau kita ingin mengedepankan perdamaian dalam reformasi, dimana seharusnya semua elemen bangsa mencari persamaan dan bukan perbedaan.
Santo yang merupakan staf khusus Presiden tentu saja memberikan informasi bagaimana Indonesia sebenarnya sangat dihormati di luar negeri. Misalnya posisi Indonesia yang merupakan anggota G-20 yang eksklusif. Ia juga menyebutkan bahwa penghargaan World Statesman 2013 bukan untuk pribadi Presiden SBY, melainkan bagi bangsa Indonesia. Anies menimpali bahwa memang di dalam negeri kita seringkali mengkritik bangsa sendiri begitu keras. Seperti KAA 1955, di saat itu justru media massa banyak memuat kritik pedas kepada pemerintah. Padahal, sejarah mencatat hal itu justru dengan tinta emas sebagai prestasi Indonesia di era pemerintahan Presiden Soekarno.
Pendek kata, pesan yang ingin diusung dari rangkaian acara ini adalah agar kita mempersiapkan diri menghadapi 15 tahun ke depan. Karena bangsa ini punya potensi menjadi bangsa besar, tinggal bagaimana kita sebagai warga negaranya berkontribusi di bidang masing-masing. Saya sendiri teringat pada slogan Indonesia Mengajar: “Daripada merutuki kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.”
Terima kasih, Mas Bhayu, atas ulasannya. Untuk klarifikasi saja, penghargaan yg saya maksud dlm paparan saya bukan penghargaan statesman yg terakhir-akhir jd pembahasan di media, melainkan rencana penghargaan badan PBB Food and Agriculture Organization (FAO) kepada Indonesia yg dianggap berhasil menurunkan jumlah penduduk yg kelaparan dan kurang gizi. Senang membaca blog Mas Bhayu. Salam kenal.
Wah, sebuah kehormatan bagi saya blog ini dikunjungi Pak Santo. Terima kasih banyak koreksinya. Mungkin perlu disosialisasi lebih luas lagi agar masyarakat kita tidak terjebak pada pro-kontra yang kurang produktif soal penghargaan apa pun utk Presiden SBY.
Besok saya rencananya akan berdiskusi dgn mahasiswa Universitas Lampung ttg polugri RI saat ini dan harapan ke depannya. Lusa, di Universitas Bandar Lampung. Sosialisasi memerlukan waktu dan tenaga, tapi inilah yang diperlukan dalam berdiplomasi di era demokrasi, tidak hanya diplomasi ke luar, tetapi juga ke dalam. Ijin follow blog-nya Mas Bhayu. Salam.
Luar Biasa Pak. Semoga terus berkarya demi Indonesia. Kita berjuang di bidang masing-masing ya Pak. Semoga itu bisa membuat negeri kita ini lebih baik kelak. aamiin.