Setiap 2 Mei kita selalu memperingati “Hari Pendidikan Nasional”. Mengambil momentum hari kelahiran Ki Hajar Dewantara yang merupakan “Bapak Pendidikan Nasional”, kita senantiasa berslogan ria dan menggelar seremoni. Tapi apakah benar pendidikan kita sudah mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah? Memang, ada alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN. Hanya saja, pelaksanaannya ternyata tidak semudah membalik telapak tangan.
Saya bukan pakar atau praktisi pendidikan, kalau dalam konteks pendidikan formal SD-SMP-SMA-Perguruan Tinggi. Walau dulu sempat jadi dosen, tapi kini saya lebih memilih jadi trainer. Nah, sebagai trainer, sebenarnya saya juga berkecimpung di dunia pendidikan dalam arti lebih luas. Walau tentu peserta pelatihan adalah profesional dan bukan peserta didik seperti di sekolah formal.
Namun, saya punya beberapa teman yang berprofesi sebagai guru. Salah satunya adalah OmJay -blogger yang juga guru SMP LabSchool Jakarta- dan satu orang teman dekat lain. Dari mereka, terkadang saat berkomunikasi saya mendapatkan sejumlah info mengenai dunia pendidikan formal kita.
Terus-terang, secara pribadi saya tidak puas dengan sistem pendidikan kita. Pertama, banyak hal mubazir dalam kurikulum kita. Misalnya begitu banyak mata pelajaran yang kelak tak terpakai dalam hidup kita. Ini karena murid masuk ke sekolah tanpa tes minat dan bakat. Seyogyanya kita mencontoh Amerika Serikat dan Eropa, dimana murid diarahkan sesuai kompetensinya. Sehingga tak perlu belajar matematika kalau memang dia tidak mampu. Kedua, kurikulumnya pun berganti-ganti terus. Sampai-sampai ada istilah “ganti menteri ganti kurikulum”, walau tentu tidak tepat begitu. Ini membuat tenaga pendidik di level pelaksana lapangan sering kebingungan. Ketiga, ketidakjelasan alokasi dana pendidikan. Kita tahu dari berita banyak sekali sekolah rusak dan kekurangan tenaga pengajar. Bahkan tenaga pengajar honorer saja banyak yang belum diangkat. Keempat, ini masalah besar bagi bangsa kita: semua diproyekkan. Anggaran yang besar malah membuat banyak pihak ingin memanfaatkannya dengan cara yang tidak benar. Cara pandang proyek juga membuat penanganan masalah tidak terpadu dan tidak berkesinambungan sehingga kasuistis dan temporer saja.
Yeah, sebagai rakyat awam yang bodoh, dari luar saya melihat beberapa hal itu sebagai permasalahan dalam pendidikan kita. Namun, di sisi lain, saya gembira melihat berbagai torehan anak bangsa di dunia pendidikan. Misalnya dalam berbagai kancah olimpiade sains internasional. Juga program-program pro-pendidikan seperti “Indonesia Mengajar” atau “Akademi Berbagi”. Walau begitu, saya melihat itu justru prakarsa masyarakat dan bukan atas dorongan pemerintah. Semoga saja di Hari Pendidikan Nasional ini pemerintah tidak semata fokus pada masalah kasuistis seperti kekisruhan penyelenggarana Ujian Nasional (UN) saja, tapi membenahi sistem pendidikan secara keseluruhan.