Perjalanan Hidup (2): Belajar dari film “The Hobbit: An Unexpected Journey”

Kedua, saya justru mendapatkan pelajaran seusai menonton film. Keluar dari bioskop sudah dinihari, ternyata masih banyak petugas yang bekerja. Tidak hanya satpam, tapi juga petugas kebersihan. Juga ada tukang yang tengah mengerjakan dekorasi toko. Tentu ada petugas parkir juga.

Kalau dikaitkan dengan film bergenre fantasi yang baru saja ditonton, rasanya “mak bluk”. Seperti dibanting. Baru saja terbang ke awang-awang, kini dipaksa jatuh kembali ke bumi. Inilah realitas. Meski dunia “Bumi Tengah” (Middle Earth) tampak indah, tapi Bumi yang inilah tempat kita tinggal. Cuma inilah dimensi yang kita tahu. Dan inilah realitas.

Terpisah dari realitas berarti mengalami kegilaan. Meski cuma sebagian, tetap saja itu kegilaan (madness). Walau ternyata, seperti dikisahkan di film Inception (2010), banyak orang memilih tinggal di dalam mimpi. Kenapa? Karena itu nyaman bagi mereka.

Nyaman. Itu kata kuncinya di sini.

Siapa sih yang nyaman jadi orang miskin? Siapa yang nyaman tetap bekerja di tengah malam sementara orang lain tidur, atau dalam kejadian yang saya alami, justru sedang bersenang-senang? Apakah para pekerja yang saya sebutkan tadi memilih menjadi seperti itu?

Sayangnya, jawabannya ya.

Meski seolah terkesan adalah “takdir Tuhan”, tapi di satu masa dalam hidupnya, mereka telah memilih. Inilah yang dikenal dalam filsafat sebagai “pilihan bebas” dalam hidup manusia. Dalam agama Nasrani, terjadi dilema karena seolah ini bertentangan dengan kuasa Tuhan yang dianggap Maha Menentukan. Para filsuf Barat dan agamawan Nasrani bahkan sekelas St. Thomas Aquinas pun kebingungan “mendamaikan” ini.

Tapi tidak dalam agama Islam. Karena dalam Islam dikenal konsep “qadha dan qadar”. Ini merupakan salah satu rukun iman. Ada sekian banyak penjelasan atas hal ini. Tapi saya pribadi mengartikan qadha sebagai “rencana ketentuan yang ditetapkan Tuhan sejak azali atau semenjak alam raya belum diciptakan”. Sementara qadar adalah “ketetapan yang berlaku pada saatnya”. Kita biasa menyebutnya takdir. Jadi, takdir belumlah berlaku bila belum tiba saatnya. Di antara keduanya itulah terdapat apa yang dinamakan ikhtiar manusia, dimana di dalamnya terdapat pilihan bebas.

Misalnya begini. Ayah ex-partner saya (please noted that I don’t call him father in law) sangat mirip fisiknya (terutama wajah dan postur) dengan Jenderal TNI (Purn.) Wiranto, mantan Panglima ABRI/Menko Hankam. Bahkan tahun kelahirannya pun sama. Kami dulu sering bercanda bahwa nasib mereka tertukar. Lucunya, beliau pun pernah mendaftar sebagai Taruna AKABRI, tapi tidak lolos. Masih dengan bercanda, kami berkhayal bahwa formulir mereka mungkin saja tertukar. Dan saya  pun mengimbuhi bahwa kalau itu yang terjadi, mungkin malah saya berjodoh dengan anak Pak Wiranto dan bukan anak Pak …… (sensor, hehe). Apalagi kalau mengingat saya pernah kenal putri beliau (walau mungkin yang bersangkutan kini sudah lupa pada saya), mengingat dia kuliah di kampus yang sama dengan saya walau beda fakultas. Bahkan saya dulu sempat memajang fotonya di kamar kost saat jadi aktivis gerakan mahasiswa 1998, dengan tujuan bila kamar saya tiba-tiba digerebek intel mereka akan berpikir saya ini “ada apa-apanya” dengan putri atasan mereka. (Kalau dipikir sekarang sih, itu konyol. Hehe).

Apakah mungkin di satu saat dalam perjalanan hidup mereka terdapat persimpangan? Kalau dalam perjalanan hidup ayah ex-partner saya, ya. Beliau berpindah agama dari Islam ke Protestan saat masih SMA. Dan bisa jadi itu faktor penentu saat petugas penyeleksi AKABRI menyisihkan beliau. Karena secara fisik dan kecerdasan beliau mumpuni. Perpindahan agama bisa jadi dianggap faktor yang menunjukkan beliau tidak konsisten dan tidak teguh dalam prinsip.

Kembali ke soal saat di mana saya usai menonton film, saya melihat bahwa para pekerja itu sangat rajin. Namun saya tahu, pendapatan mereka tidak seberapa. Tapi, mereka bekerja dengan luar biasa. Di sisi ini, saya sangat malu. Berkali-kali dalam perjalanan hidup, saya membuang momentum. Saya jelas memilih persimpangan hidup yang salah. Itu antara lain karena saya tak berani keluar dari zona nyaman saya. Untungnya, meski sudah salah arah, namun di tengah perjalanan, Tuhan menurunkan petunjuknya. Ia Yang Maha Pengasih memberikan kompas, peta bahkan sekaligus logistik untuk perjalanan hidup. Dan insya ALLAH kali ini saya tidak buta dan tuli lagi.

Meski saya tahu ada takdir saya yang tak terpenuhi di masa lalu, dan ada momentum terlewat, namun saya masih hidup. Dan selama itu pula perjalanan saya belum berakhir. Saya tak akan berhenti walau badai menghadang. Seperti juga Bilbo Baggins. Gandalf dan para ksatria Dwarf dari Erebor yang terus melangkah menyelesaikan misinya walau sempat ragu dan takut. Intinya adalah tekad, kesabaran, ketabahan dan ketekunan. Tetap berdiri tegak apapun yang terjadi.

the-hobbit-an-unexpected-journey-movie-2560x1600-2048x1536

Yakinlah LifeLeaner, Tuhan bersama orang-orang yang berjuang!

Foto: goodreads.com

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s