Hari ini, alhamdulillah saya diberi kesempatan menghadiri sebuah talkshow yang diadakan oleh Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia (JPMI) DKI Jakarta. Temanya adalah “Sukses Berbisnis Secara Syari’ah”.
Meski hadir terlambat, ternyata saya beruntung karena justru para pembicara utama belum naik panggung saat saya datang. Jadi, saya datang, makan siang, shalat dan langsung mendapatkan ilmu dari para pembicara handal. Hadir sebagai narasumber dalam sesi sharing tersebut adalah Riyanto Sofyan, BSEE,MBA dan Suparno. Nama pertama adalah pemilik (atau tepatnya pewaris) jaringan hotel yang pusatnya ada di daerah Menteng, yaitu Hotel Sofyan. Saya baru tahu bahwa di bawah manajemennya terdapat 12 hotel di berbagai kota. Saik juga buat sebuah hospitality business yang digawangi anak negeri. Sedangkan nama kedua adalah pemilik jaringan restoran “Ayam Lepaas”.
Sesi Riyanto Sofyan menarik bagi saya karena memberikan sejumlah pengetahuan baru. Antara lain ternyata ada sertifikat “Lembaga Bisnis Syari’ah” dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN) untuk bisnis apa pun. Jadi, ini mirip dengan sertifikat “Halal” dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya yang tergelitik pun kemudian bertanya bagaimana prosesnya yang dijawab oleh beliau dengan gamblang. Intinya, ada sejumlah persiapan dari segala sisi seperti penyiapan struktur, operasional, SOP (Standart Operating Procedure), manual, kebijakan dan sebagainya. Dalam hati, saya beranggapan bahwa semua itu mirip dengan persiapan ISO (International Standarization Organization atau International Organization for Standardization). Bedanya, di sini semua proses bisnis harus memenuhi kaidah syari’ah. Jadi, bukan cuma pegawainya yang diharuskan memakai pakaian ala Arab (seperti kesalahkaprahan penerapan hukum Islam di Aceh). Dalam sertifikasi DSN ini, masalah pakaian pegawai malah tidak dipersoalkan.
Saya lantas teringat pada pembicara sesi sebelumnya yaitu Irma Devita yang tampil bersama Suwinarno. Menurut Irma, prinsip bisnis syari’ah adalah menghindari Maisir, Gharar, Riba dan Bathil yang disingkatnya menjadi “Maghrib”. Meski ia tidak menerangkan, di sini saya akan mencoba menjabarkannya sepintas. “Maisir” artinya memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja-keras yang sepadan. “Gharar” artinya melakukan jual-beli tanpa jelas apa yang diperjual-belikan dan bagaimana prosesnya. “Riba” adalah pembungaan uang untuk proses peminjaman atau hutang-piutang dengan perjanjian di awal. “Bathil” adalah tidak baik, baik niat maupun proses dari hulu sampai hilir.
Prinsip dasar ini kemudian diejawantahkan oleh Suparno menjadi filosofi “Ayam Lepaas”. Ia menyingkatnya menjadi “HAB” yang merupakan kepanjangan dari “Halal-Adil-Bijak”. Baik Suparno maupun Riyanto Sofyan menuturkan bahwa dirinya justru memperoleh berkah saat berbisnis secara syari’ah. Bahkan, di bisnis hotel yang secara umum dikenal “abu-abu” dalam penerapan prinsip syari’ah, justru melawan logika dengan meraih keuntungan saat diterapkan prinsip ini. Salah satunya misalnya dengan melakukan seleksi tamu, artinya pasangan lain jenis yang belum/tidak menikah tidak dibolehkan satu kamar. Namun, penerapannya sangat sopan. Misalnya dengan mengatakan “kamar sudah penuh” tanpa perlu meminta surat nikah.
Semua itu membuka mata saya. Bisa jadi dihempangnya saya dalam hidup justru karena menjauh dari Tuhan selama 14 tahun terakhir. Justru karena saya tidak mampu menerapkan ajaran agama di segala sektor kehidupan, maka rezekinya pun menjadi tidak berkah. Naudzubillah min dzalik. Semoga ALLAH SWT mengampuni saya dan memberikan kesempatan memperbaikinya. Jujur, saya perlu “cermin” seperti acara ini untuk menyadari kelemahan saya.