Masalah Keuangan dalam Rumah Tangga

Salah satu yang sering menjadi penyebab kehancuran bahtera rumah tangga adalah masalah keuangan. Ini adalah pangkal, sementara pemicu (trigger)-nya bisa bermacam-macam. Misalnya suami yang dulunya hidup susah, sementara kini berubah menjadi lebih established, tak jarang lupa pada pendamping hidupnya sejak awal. Kita banyak melihat fenomena ini pada selebritis seperti sering diberitakan infotainment. Ada pula yang sebaliknya. Pihak istri menuntut cerai karena pasangannya tidak bisa memberikan jaminan keuangan. Namun, setelah saya amati, di Indonesia banyak yang memilih bertahan dengan kondisi ini. Solusinya? Istrilah yang kemudian mengambil-alih tanggung-jawab sebagai pencari nafkah atau dalam istilah sosiologi disebut “Bread Winner”.

Rupanya, stigma “janda” lebih mengerikan daripada “tidak makan”. Maka, banyak istri yang kemudian malah lebih “perkasa” daripada “suami”-nya. Salah satu contoh mungkin diambil dari dunia selebritis, yaitu Soimah. Di sini, penghasilan suami lebih rendah daripada penghasilan istri.

Secara psikologis, ini akan memberikan tekanan tersendiri bagi suami yang “normal”. Namun, apabila kedua orang tersebut mampu saling mengerti dan berbagi serta setia, tentu tidak ada masalah. Sayangnya, seperti kasus Nyonya Suharti, justru pihak suami yang kerapkali malah lupa diri. Bukannya berterima kasih atas peran penting sang istri, malah ia mengkhianati istrinya dan mengambil-alih bisnisnya serta menceraikannya.

Saya sendiri mengalami masalah psikologis ini. Selama beberapa tahun, saya yang baru memulai usaha kalah penghasilan dengan pasangan saya. Namun, kini saat saya mampu menyalipnya, justru yang terjadi saya ditinggalkan. Memang, ada banyak variabel yang bermain dan 99 % adalah salah saya. Namun saya sendiri merasa, masalah keuangan adalah yang paling krusial. Apalagi setelah saya mendapatkan sejumlah info mozaik bahwa ia kini memilih seseorang yang maqom materialnya lebih daripada saya.

Maka, saat kini saya berpikir untuk membuka hubungan baru dengan seseorang yang levelnya di atas saya, terus-terang saya berpikir seribu kali. Apalagi saya baru saja menemukan semacam laporan keuangan tentang dia bahwa gajinya di salah satu jabatan dua kali lipat gaji saya. Mengingat yang bersangkutan memegang lebih dari satu jabatan di kantornya, bisa jadi total penghasilannya empat kali lipat saya!

Masalah serupa dengan pasangan terakhir saya akan berulang kembali. Bisa jadi, saya akan terengah-engah mengejar penghasilannya. Apalagi saya bukan tipe lelaki yang senang “main gitar di pos ronda” alias cuma duduk diam menunggu diberi uang oleh bangau yang lewat. Saya pasti akan mengalami tekanan yang sama dengan masalah terakhir. Saya justru kuatir, nanti setelah misalnya saya mampu melampaui atau minimal menyamai penghasilannya, yang bersangkutan merasa saya tak lagi “pantas” untuknya.

Memang, ini kekuatiran yang bagi banyak orang tak perlu. Mungkin malah banyak lelaki mencari pasangan lebih kaya agar bisa bermalas-malasan. Saya tidak. Saya justru malu dan berusaha keras mengejarnya.

Ada beberapa solusi seperti sedari awal merencanakan keuangan rumah tangga. Apalagi kini banyak perencana keuangan untuk pribadi atau keluarga. Tapi saran saya, pilih yang bukan hanya kompeten tapi juga memiliki latar belakang serupa dengan Anda. Jangan sampai seperti seorang perencana keuangan yang saya tahu berasal dari kalangan atas sehingga cenderung menggampangkan masalah client-nya.

Intinya sebenarnya: bila dilandasi niat baik karena Tuhan, niscaya rumah tangga akan tahan badai. Tapi kalau tergoda oleh hal-hal di luar tuntunan-Nya, tentu bahtera akan mudah karam.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s