Bagi saya, penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua di zaman Gus Dur menjabat Presiden menunjukkan kemunduran dalam diplomasi kita. Nama Irian yang konon diciptakan Bung Karno itu sebenarnya menunjukkan integrasi yang erat dari Papua Barat. Sebelum Bung Karno mengganti namanya menjadi “Irian Jaya”, namanya adalah “Irian Barat”. Memang, nama Papua adalah nama asli pulau besar itu. Pulau yang di bagian Timurnya adalah negara bernama Papua New Guinea (kita menyebutnya Papua Nugini). Namun nama Irian sarat makna sejarah. Karena konon merupakan singkatan dari “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland”. Maklum, saat itu Papua Barat merupakan sisa wilayah pendudukan Belanda di Nusantara yang tidak ikut diserahkan kedaulatannya dalam Konferensi Meja Bundar, 19 Desember 1949. Sehingga kemudian tersisa masalah berlarut-larut yang menyebabkan PBB turun tangan.
Diadakanlah perundingan di New York yang menghasilkan New York Agreement. referendum yang dinamakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di bawah pengawasan PBB pada tahun 1969. Hasil tiga tahap Pepera menunjukkan masyarakat di pulau itu memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil itu dibawa ke Majelis Umum PBB dan disetujui hasilnya pada tanggal 19 November 1969 dengan Resolusi Majelis Umum no. 2504.
Sebenarnya, masalah nama ini penting karena tiap pihak yang mengklaim kedaulatan atas suatu wilayah pasti memberi nama berbeda. Seperti halnya sengketa perebutan gugusan kepulauan di Laut China Selatan antara Jepang dengan China. Pihak Jepang menamakannya Senkaku, sementara China memberi nama Diaoyu. Artinya, penamaan Irian oleh Indonesia dan West New Guinea oleh Belanda jelas sebuah klaim kedaulatan.
Organisasi Pembebasan Papua Barat yang mengklaim mewakili rakyat Papua yang tidak ingin bergabung ke Indonesia melakukan perlawanan. Organisasi ini bentukan pemerintah Belanda yang pada 1 Desember 1961 mempersiapkan lembaga negara Republik Papua Barat dan simbol-simbolnya. Mereka antara lain membuat Dewan Rakyat Neugunea, menetapkan Bintang Kejora sebagai Bendera Kebangsaan Papua Barat, mengesahkan Hai Tanahku Papua sebagai Lagu Kebangsaan Papua Barat, serta menggunakan Burung Mambruk sebagai Lambang Negara. Deklarasi kemerdekaannya sendiri baru dilakukan pada 1 Juli 1971 oleh Jafet Rumkorem, seorang Brigadir Jenderal pada struktur ketentaraan pendudukan Belanda. Ia ditunjuk sebagai Presiden negara Papua Barat yang pertama.
Pemerintah Indonesia kemudian menyebut gerakan separatis mereka sebagai Organisasi Papua Merdeka yang biasa disingkat OPM. Gerakan ini kemudian meningkat menjadi pemberontakan bersenjata dengan sayap militernya yang menyebut diri “Gerilyawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).”
Pemerintah Gus Dur kemudian memberikan status Otonomi Khusus kepada Papua. Status ini disahkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (dicatat dalam Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 No. 57 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4843). Hal ini sekaligus mengganti nama “Irian Jaya” menjadi “Papua”. Provinsi Irian Jaya sendiri kemudian dimekarkan menjadi dua: Papua dan Papua Barat.
Akibat tindakan pemerintahan Gus Dur tersebut, gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka alias OPM yang sempat “tiarap” semasa Orde Baru bangkit kembali. Perlu dicatat gerakan mereka tidaklah serapi gerakan separatis di Timor-Timur. Jumlah anggotanya juga tidak sebanyak Fretilin dan CNRT. Namun, kontur alam yang berhutan dan bergunung memudahkan mereka bersembunyi dari kejaran aparat. Belum lagi adanya perbatasan darat dengan negara lain, membuat mereka mudah menyeberang. Dalam hal ini aparat kita tentu kehilangan yurisdiksinya saat mereka menyeberang ke negara tetangga.
Dan memang, meski jumlahnya sedikit, sama seperti Fretilin dan CNRT, dukungan asing kepada mereka bisa membahayakan. Dengan memanfaatkan jaringan internet dan social media, keberadaan OPM ini seolah membesar. Pemerintah harus lebih ngeh dengan perkembangan ini. Jangan sampai kita kecolongan seperti Timor-Timur hanya gara-gara lemahnya informasi intelijen dan kepongahan pejabat Jakarta. Karena apa pun namanya, baik itu Irian atau Papua, tetap merupakan bagian dari Indonesia. Kita harus pertahankan itu!