Banyak orang mengira menjadi “Leader” atau pemimpin itu enak. Itu sebenarnya karena kebanyakan orang memang bukan pemimpin. Sebagaian besar orang di dunia memang berperan sebagai “yang dipimpin”.

Sebenarnya, justru karena tidak enak itulah maka jumlah leader lebih sedikit daripada follower. Selain diperlukan karakter dan kepribadian kuat, leader justru harus mampu menanggung beban lebih daripada follower. Beban itu tidak hanya berupa tanggung-jawab, tapi  juga kerja yang lebih banyak. Mungkin pekerjaannya tidak lagi banyak yang berupa fisik, tapi otak. Justru dampak dari pekerjaan itu lebih daripada pekerjaan follower.

Bila leader keliru dalam mengambil keputusan, dampaknya luas. Bukan hanya dirinya yang akan terkena, tapi juga followernya. Bahkan bila ia adalah leader dari suatu jabatan publik, dampaknya bisa lebih luas lagi. Kerugiannya bisa mencakup masarakat luas yang bahkan bukan followernya.

Sebaliknya, follower juga penting. Karena tanpanya, tak akan ada leader. Justru bisa saja tercipta suatu masyarakat komunal tanpa leader tunggal. Kesediaan follower mengikuti leader sangat tergantung pada kemampuan leader “merangkul” mereka. Apalagi di alam demokrasi sekarang, seorang leader tak lagi bisa berkuasa selamanya. Apabila ia dianggap tak memuaskan hati follower, bisa saja sang leader didepak dari kursi kekuasaannya. Bisa jadi prosesnya semudah “unfollow” di Twitter.

Kekuasaan yang jadi “daya tarik” dari posisi leader niscaya akan jadi kurang menarik lagi bila dibandingkan dengan beban kerjanya. Walau seringkali “hiburan” justru datang dari keasyikan menyelesaikan masalah sebagai suatu tantangan.  Justru kompensasi besar yang diterima kemudian cuma dianggap sebagai “bonus” belaka bagi seorang leader sejati. Karena tujuan seorang leader sebenarnya adalah melayani followernya.