Saya makin menyadari, saya kekurangan satu faktor pendukung sukses yang utama: keluarga. Saya ini sendirian LifeLearner. Tanpa bermaksud “curcol”, namun saya mengatakan bahwa saya berjuang sendirian dalam hidup nyaris tanpa dukungan keluarga. Sementara, saya mendapati kenyataan bahwa ternyata orang-orang sukses didukung oleh keluarganya.
Seperti tempat saya berkarya sekarang ini, ternyata pemiliknya yang merupakan tokoh publik didukung penuh oleh keluarganya. Selain oleh kedua orangtuanya, juga oleh kedua adiknya. Bahkan, seorang berjabatan tinggi yang seusia saya ternyata adalah adik ipar sang pemilik!
Terus-terang saya kaget. Saya tidak menyangka nama tokoh publik yang besar ternyata didukung begitu banyak keluarga di dalam perusahaannya. Mungkin itu terasa wajar di Indonesia. Tapi bagi saya pribadi, hal itu terasa agak miris karena saya terpaksa “jungkir-balik” sendirian cuma untuk membangun cita-cita sederhana. Saya jadi mafhum bahwa itulah sebabnya saya kesulitan mewujudkan cita-cita. Karena tak ada pendukung terpenting.
Menghadiri pelatihan parenting hari ini, membuat saya makin menyadari hal itu. Jauh berbeda dengan training biasanya, polanya searah tanpa ada diskusi dan tanya jawab. Lebih mirip indoktrinasi. Dan saya, terus-terang tidak mempan diindoktrinasi seperti itu. Sebabnya, saya sudah matang “dihajar” indoktrinasi nasionalisme sewaktu aktif sebagai Pramuka, PKS, dan terakhir yang paling “greng” adalah sebagai Paskibraka. Tahukah Anda, untuk bisa mengenakan lencana merah-putih di dada dan berhak memakai topi biru Purna Paskibraka Indonesia setelahnya, latihannya setara dengan militer?
Maka, indoktrinasi selain itu tak akan mempan. Dari segi agama, saya punya S-2 bidang agama, apa lagi? Saya juga matang di organisasi keagamaan. Saya cuma tahu satu hal: saya adalah seorang Muslim yang baik. Insya ALLAH.
Saya akan menangis bila diperlukan, tapi bukan untuk riya’. Tak perlu menghitamkan dahi untuk meyakinkan orang lain -atau diri sendiri- bahwa saya cukup dalam beribadah. Juga tak perlu kesetiaan palsu pada satu figur tertentu. Semata karena saya ingat sabda Rasulullah SAW sendiri yang melarang umatnya untuk taklid buta.
Namun, ada yang bisa saya tarik dari pelatihan itu. Bahwa faktor keluarga sangat penting dalam kesuksesan kita. Apalagi di Indonesia yang nota bene merupakan masyarakat komunal. Dan itulah yang saya sungguh sangat kurang. Untuk mengatasinya, saya terpaksa harus bekerja jauh lebih keras daripada orang lain. Semata untuk memenuhi fitrah saya sebagai manusia yang harus mencapai “target” akhir dalam hidup: khusnul khotimah.
Saya selalu berdoa semoga mas Bhayu cepat mempunyai sebuah keluarga yang sakinah dan di ridhoi Allah SWT, karena membina sebuah keluarga harus diawali dengan pernikahan,maka saya doakan juga semoga niat untuk menyempurnakan separuh diin (agama) tersebut segera terlaksana. Insya Allah menikah itu indah dan menenangkan. Barokallahulakuma wa barooka alaikuma wa jamaa bainakuma bi khoirin.Aamiin
Terima kasih do’anya. Cobaan kehidupan saya banyak Akhi Yogi. Saya hanya berharap semua itu mengurangi dosa saya. Aamiin.
Ping-balik: Sakit, Sempit, Tua « LifeSchool by Bhayu M.H.·