Hari ini, media massa memuat kabar meninggalnya Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Bagi yang sudah cukup usia saat Orde Baru dan Soeharto berkuasa, akan tahu bahwa pengusaha ini adalah salah satu yang terkaya di Indonesia. Ia bahkan sempat masuk daftar Fortune dan Forbes sebagai orang terkaya di Indonesia, bahkan Asia. Lebih dari itu, namanya pun sempat masuk jajaran 100 orang terkaya di dunia bersama multi miliuner lain seperti Ratu Elizabeth II ataupun Bill Gates.
Saat Presiden Soeharto dilengserkan dengan gerakan reformasi, Oom Liem -panggilan akrabnya- pun goyah. Ia yang telah mengenal Pak Harto sejak masih berpangkat Kolonel saat menjabat sebagai Panglima Kodam Diponegoro pun kehilangan patron dan pelindung. Beberapa tempat usahanya menjadi korban. Bahkan salah satu rumah pribadinya di jalan Angkasa-Kemayoran pun dijarah massa. Salah satu lukisan dirinya bersama sang istri Lie Las Nio alias Lilani pun turut dirusak. Padahal, lukisan itu langka karena karya maestro Basuki Abdullah.
Sejak itu, ia mengalami trauma dan lebih memilih tinggal di Singapura. Kerajaan bisnisnya diserahkan kepada Anthony Salim, salah satu putranya. Walau sesekali menengok Indonesia, namun ia sudah amat jarang tampil di hadapan publik. Saat ia berulang tahun ke-90, sempat diadakan perayaan dua malam berturut-turut di Hotel Shangrila Singapura. Sekitar 2.000 orang dikabarkan hadir. Bukan hanya pejabat, mantan pejabat ataupun pengusaha asal Indonesia saja. Tapi juga para kolega dari berbagai negara termasuk Tiongkok, Singapura, Amerika Serikat atau Eropa. Tentu saja perayaan itu menunjukkan bahwa Oom Liem masih kuat, baik secara fisik maupun finansial.
Bagi kebanyakan aktivis demokrasi dan HAM, nama Oom Liem di masa Orde Baru masuk dalam kategori “kroni Cendana”. Banyak bisnisnya berjalin-berkelindan dengan Soeharto dan keluarganya. Salah satu bisnisnya digarap bersama Sudwikatmono, adik kandung Ibu Tien Soeharto. Tercatat di tahun 1969, Liem muda mendirikan CV Waringin Kentjana bersama Sudwikatmono, Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad. Kelompok ini kerap disebut sebagai The Gang of Four di masa Orde Baru. Pada tahun 1970, bisnisnya berkembang dengan mendirikan PT Bogasari dengan modal pinjaman dari pemerintah. Di tahun 1975, berdiri bisnis lain yaitu PT Indocement Tunggal Perkasa yang menguasai hampir seluruh pangsa pasar semen di Indonesia. Kemudian The Gang of Four mendirikan PT Metropolitan Development bersama Ir. Ciputra yang membangun berbagai proyek properti, antara lain Mal Pondok Indah. Di bidang otomotif ia pun memiliki PT Indomobil. Bersama Mochtar Riady ia juga membangun bank yang kelak jadi terbesar di negeri ini: BCA (Bank Central Asia).
Luar biasa memang sepak terjang beliau semasa Orde Baru. Walau banyak yang mencibir itu terjadi karena kedekatannya dengan penguasa, namun rasanya kita bisa meneladani beberapa sisi positif dari diri Oom Liem. Apalagi bagi yang sedang sibuk mencari nafkah guna memperbaiki taraf hidup. Kita harus ingat bahwa Liem belia yang lahir di Fuqing, Tiongkok pada 10 September 1915 ini datang ke Indonesia dengan tangan hampa. Ia berlayar dari negerinya untuk menghindari kecamuk Perang Asia Timur Raya (episode Perang Dunia II di Pasifik). Liem yang masih berusia dua puluhan tahun berupaya menyusul kakaknya Liem Sioe Hie ke Indonesia. Ia sempat bekerja di pabrik pengolahan minyak kacang milik pamannya. Juga sempat bekerja di pabrik tahu dan kerupuk sebelum mencoba memulai perdagangan dan usahanya sendiri. Artinya, ia bekerja keras dan berupaya belajar dari pengalaman orang lain.
Kerja keras tak kenal lelah, kejelian melihat peluang, kemampuan menjalin komunikasi dan relasi dengan pihak lain, kemampuan bertahan di tengah resiko (ia melalui kesulitan ekonomi luar biasa saat perang), serta keberanian membela teman yang membutuhkan adalah beberapa hal yang membuatnya sukses. Ia misalnya, pernah membantu TNI AD mengimpor obat-obatan saat revolusi fisik. Meski ini bisnis, namun tentu ada sisi kemanusiaannya.
Rasanya, terlepas dari segala kekurangannya, sebagai usahawan ia cukup bisa diteladani. Tentu dengan pengecualian seperti kroni-isme yang kurang baik dicontoh. Setidaknya, kisah hidupnya layak dipelajari generasi berikutnya. Biarlah Tuhan yang menghakiminya. Kita manusia tak berhak lagi.
Foto: Oscar Motulloh/Antara. Direpro dari Katalog Pameran Foto “Kilas Balik Reformasi”: Pameran Karya Pewarta Foto Antara. Jakarta: Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2008.