Tadi siang, saya berkesempatan menghadiri undangan peluncuran buku Dinna Wisnu, Ph.D. Beliau adalah Direktur Pascasarjana dan Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi di Universitas Paramadina, serta Direktur Riset di Paramadina Public Policy Institute. Saya amat kagum pada beliau. Sebagai seorang wanita yang masih tergolong belia, namun sudah paripurna dalam bidang pendidikan. Setelah menyelesaikan Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari jurusan Hubungan Internasional Universitas Indonesia, beliau merampungkan gelar Master of Arts dan Doctor of Philosophy bidang Politik dari The Ohio State University, Amerika Serikat. Peluncuran bukunya berjudul Politik Sistem Jaminan Sosial ini merupakan sebuah prestasi tersendiri. Karena di tengah kesibukannya beliau masih sempat menuliskan buku ilmiah setebal 268 halaman.
Tulisannya ini meski berasal dari disertasinya, namun dikembangkan dengan data-data termutakhir. Saya sendiri kerap mengikuti tulisan beliau di harian Seputar Indonesia, dan terkagum-kagum pada logika berpikir dan cara bertuturnya yang mantap.
Saya lantas teringat pada seorang sahabat lama saya, Achmad Nurchoeri Soekarsono. Kenapa? Karena beliau juga “legenda” di jurusan HI-UI. Dua kali terpilih sebagai Ketua Umum Himpunan Mahasiswa HI dan sederet penghargaan akademis. Bahkan untuk ‘menandingi’ kepintarannya, saat skripsi ia memiliki dua orang dosen pembimbing. Padahal lazimnya hanya satu kan? Bedanya, Achmad ini memilih jalur yang unik. Sempat menjadi wartawan, kini menjadi analis dan peneliti di sebuah lembaga strategis internasional.
Saya selalu ‘iri’ pada orang-orang ‘bernasib baik’ seperti Dinna dan Achmad. Tapi saya tahu, mereka tidak meraih ‘posisi dalam hidup’-nya cuma dengan tidur saja. Mereka berusaha keras dan bekerja cerdas. Segala kelebihan dioptimalkan seraya menepikan kelemahan yang mungkin menyelinap. Dinna misalnya, ia adalah ibu dari satu putri yang masih kecil. Sehingga saat merampungkan disertasi dan bukunya, ia kerap harus mencuri waktu di tengah malam. Achmad saya tahu bahwa kehidupan pribadinya juga penuh ‘gejolak masa muda’, tapi toh ia tetap ‘bernasib baik’.
“Sukses” terkadang memang seperti ‘nasib baik’. Karena kerapkali berputarnya roda nasib seperti tak diduga. Tapi saya percaya tak ada sukses dalam semalam. Seperti kata pepatah barat: Rome not build in a night. Kota Roma (yang di masa lalu adalah ibukota imperium Romawi yang megah) tidak dibangun dalam semalam. Bahkan sukses yang kelihatannya seketika sebenarnya juga berproses.
Hanya saja terkadang saat ‘nasib tak baik’, kita bisa tertimpa ‘kesialan’. Sebutlah bila mendadak musibah menimpa kita. Di sini, faktor kebetulan sangat kental. Meski ada musibah justru terjadi karena kesalahan kita. Dan saya merasa, itulah yang terjadi hari ini saat saya menyadari terjadinya kejahatan pada saya. Saya masih mempertimbangkan apakah akan melaporkan secara resmi kepada kepolisian (saya malam ini langsung melapor via e-mail, tapi tetap harus datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian rupanya), atau tidak. Karena Anda tahu, niat untuk membela diri malah bisa panjang urusannya kalau ‘nasib sedang sial’. Karena itu, saya lebih memprioritaskan usaha perbaikan kerusakan saja, seraya melokalisir agar tidak meluas. Semoga Tuhan berkenan menyelamatkan saya dan memberikan saya nasib baik seperti Dinna dan Achmad.