Di televisi, saat ini banyak program kuliner. Baik yang sekedar wisata kuliner atau masak-memasak. Saya tidak mengomentari yang kedua. Kenapa? Karena yang ini biasanya host atau pembawa acaranya sudah kompeten. Namun yang pertama, saya cukup heran kenapa justru lebih banyak yang sebaliknya.
Host paling bagus tentu saja Bondan “Mak Nyus” Winarno. Selain sebagai pelopor acara wisata kuliner di TV, beliau justru memulainya dari mailing-list (milis) “Jalan Sutra”. Milis ini anggotanya ribuan sehingga menjadi terkenal, terutama bagi penggemar wisata kuliner bisa berbagi pengalaman. Seringnya kopi darat (kopdar) membuat jaringan makin erat. Walau terus-terang saya tidak tahu bagaimana kelanjutannya sekarang.
Kelebihan Bondan dari host lain adalah kemampuannya menerangkan cara memasak, membandingkannya dengan masakan lain, ditambah pengetahuan mengenai sejarah masakan itu sendiri. Namun, bagi saya yang paling oke adalah kemampuan yang saya sebut “bumbu terbalik”. Cuma dengan mencicipi kuliner, ia mampu menerka bumbu apa saja yang digunakan dalam proses memasaknya.
Sementara host lain, aduh, ada yang cuma makan saja. Lantas semua pada akhirnya berkomentar “enak”, “lezat” atau semacamnya. Paling banter komentarnya ditambahi rasa seperti “pedas”, atau “panas”. Malah, ada host yang cara makannya menjijikkan, sampai mengeluarkan air liur dan berbunyi. Mungkin karena ada masukan, sekarang ‘diperhalus’. Caranya? Hostnya memakai kostum binatang atau tokoh kartun, lengkap dengan riasan wajah yang nggak banget! Hahaha. Gak nyambung banget. Meski terkadang ditemani artis cantik, tetap nggak nolong.
Bisa jadi karena acara tersebut dibuat oleh PH (Production House) dan pihak stasiun televisi tinggal membeli dan menayangkan, maka kurang kontrol kualitasnya. Mestinya, kalau ukurannya rating, acara semacam itu nilainya rendah. Tapi kok ya sampai sekarang banyak yang masih tayang ya?
Kenapa tidak mencari orang yang jago makan tapi juga mengerti tentang kuliner ? Karena kalau cuma makan doang, lantas komentar “enak”, semua orang juga bisa dong.
NB: Sewaktu bekerja di sebuah majalah gaya hidup terkemuka dahulu, saya sering meminta bantuan kekasih saya saat itu yang selain jago masak juga lumayan wawasannya dalam soal kuliner. Termasuk ia cukup memadai dalam soal “bumbu terbalik”. Itu karena saya menyadari keterbatasan saya. (thank’s to AMP, mantan saya. Hehe.). Daripada memaksakan semua kuliner dibilang “enak” kan?